Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Sunday, February 26, 2012

Jurnal 26 Februari 2012

Mendapat ide untuk fiksi fantasi (yg rada aneh jadinya), gw lanjutin nulis senen siang, sampe malemnya. Paginya soalnya kepake buat nganterin mama terapi. Jadi sih, meskipun tema ceritanya ga terlalu menggembirakan ato gimana. Selain itu, batasan 9000-10.000 karakter itu bener-bener deh, merepotkan. Karena kelebihan karakter, jadinya mesti dipotong2 plotnya. Repotnya, selisih 1000 karakter itu dikit lho, jadi kalo ga hati2, bisa ga memenuhi syarat itu. Dan terbukti kan, di hari-H pengumpulan, banyak yg kesandung masalah itu, karena ga sempet ngeditnya.

Sebenernya pengen bikin tulisan satu lagi, yg tribute to whitney houston itu, dimana udah fix pengen bikin berdasarkan lagu When You Believe. Tapi susah ya mikirin cerita dimana gw mesti bener2 menghayati temanya. Mana deadlinenya hari itu juga, dan batasan tulisannya itu maksimal 1200 kata, jadi kesannya mesti bikin yg rada banyak, ga sekedar flashfiction doang. Jadinya berlalu saja.

Akhirnya sepanjang minggu jadi ga produktif aja. Ga ada yg ditulis ato apa. Nonton film dan Sherlock aja jadinya. Jadi pengen nulisbareng lagi.

Diajak buat ikut dateng ke acara nulisbuku club hari sabtu, di mahakam, buat nonton promosinya buku coffee shop itu. Sayang waktunya jam 1530 -1830 gt. Sementara sabtu pagi gw masuk. Sempet sih, pas jam 5 pulang trus naek busway sampe ke blok M. Cuma acaranya keliatannya udah selesai. Pengen juga sih tetep dateng, meskipun ga ikut acaranya, tapi karena ga diminta lagi (takutnya unwanted), yah dibatalkan saja.

Ngomong2 soal buku itu, sampe sekarang pun gw masih belom mesen, padahal di timeline mbak wangi sama adit udah promosi gencar tiap hari. Soalnya gw masih nunggu barengan mesen buku laennya, biar ongkos kirimnya sekalian. Itupun sebenarnya gw masih punya jatah buat ongkos kirim gratis, buat ganti ongkos kirim ke sana yg waktu itu blom diganti. (reminder utk mencantumkan hal itu waktu nanti mesen buku). Jadi selain buku coffee shop ini, buku laen yg akan gw pesen adalah goodbye november yg buku 2, trus under the mistletoe-nya rachma. Dan masih nunggu buku 15haringeblogFF ini jadi, soalnya nanggung kalo mesen sekarang, trus 3 minggu lagi mesen buku satu doang.

Kemaren nanya mbak sarah, berhubung dia udah nikah, dan sepertinya suka ngasih tips gitu. Jawaban yg diterima seperti mempertegas hal yg sudah gw ketahui. Don't get too close with someone (girl) who's already (or about to be) married. Yeah, I know. Masalah state of mind sih, asal kitanya bisa lepas dari masalah perasaan itu. Anyway, tiap kali masuk sabtu ato minggu pagi selalu dihadapkan pada masalah makan siangnya gimana. Repot karena kantin tutup, dan orang2 juga biasanya pada bawa bekal, dan males beli makanan ke luar. Jadilah biasanya gw sarapan lontong ato ketan aja, dan makan lagi, pas pulangnya abis magrib. Makan somay dua porsi di deket stasiun, murah meriah 10rb aja. Bukan laper sih, tapi lebih ke arah pelampiasan, hehe.

Apa Itu 'The Coffee Shop Chronicles'?



Adalah buku yang berisi kumpulan flashfiction, yang bersetting di suatu coffee shop (atau kafe yah, bukan Starbucks.) Unik, karena tiap cerita punya karakternya sendiri-sendiri; beberapa ada yang merupakan sekuel, atau nyambung dari cerita lainnya. Temanya juga beragam, didominasi oleh drama-drama yang terjadi di antara tokoh-tokohnya. Ada beberapa karakter yang sering muncul atau dibahas dalam buku ini, seperti pasangan Nona Penulis dan Tuan Arsitek, Noshi si pemilik kafe, dan cinta segitiga (?) Hanum, Bayu dan Ale, tentang pengantin yang kabur di hari-H.

Asal muasal buku ini, seperti yang dicantumkan di situs dan promo2 twitnya adalah surat yg dibuat seorang pengagum pada Tuan Arsitek. Tapi awal sebenarnya adalah, surat-surat cinta untuk Tuan Arsitek yg ditulis mbak adit dalam rangka 30harimenulissuratcinta. Begitulah, dari event yg satu, disambung dengan surat dengan perspektif tokoh yang berbeda, dan kemudian malah berkembang sendiri menjadi sebuah event tersendiri. Akhirnya bermunculan juga cerita-cerita lainnya, dengan sistem FF berantai. Peraturannya pun dibuat: ga mesti nyambung dengan cerita sebelumnya, tapi mesti berada di lokasi yg sama (di coffee shop), dan menyinggung/menyebutkan karakter2 lain yang juga ada di sana (di cerita2 yg lain).

Sayapun, yg sebenarnya lagi ga mood untuk nulis waktu itu, akhirnya coba nulis aja, yg akhirnya diberi judul Kacamata. Tadinya ceritanya tentang pertemuan dua orang teman untuk pertama kalinya (setelah sekian lama, mungkin dulu temen SD ato sejenisnya), but I don't want to foreshadowing things. Makanya di akhir, saya bikin twist, bahwa itu sebenarnya pertemuan antara kakak dan adik yang sudah lama ga ketemu. Cerita ini (menurut rencana) akan muncul di cerita nomor 18 di buku The Coffeshop Chronicles.

Padahal saya ga ngerti nama-nama kopi lho :p Baca cerita-cerita lain yg ada jenis kopi segala macem pun ga bisa bedain ato bayangin kayak gimana kopinya. Jenis kopi yg saya minum itu terbatas pada kopi sachet, ga jauh2 dari Coffemix, Kopi ABC, dan waktu itu Nescafe Moccachino. Jadilah pake Moccachino, satu-satunya nama aneh yg pernah saya cobain, untuk dijadikan menu kopi di cerita saya, hehe. Suka minum kopi bukan berarti mesti ke Starbucks kan?

Anyway, hanya dalam 4-5 hari, sudah ada 29 cerita dengan setting coffee shop itu. Mbak Adit dan Mbak Wangi pun dengan sigap menyiapkan semua ini menjadi buku. Merekalah yang bekerja paling keras hingga buku ini terwujud. Penulis yg lainnya (termasuk saya yg kebetulan numpang nama :p) hanya mengikuti dan memberi semangat.

Btw, untuk pemesanan buku ini, bisa dilihat dulu di situs nulisbuku untuk informasi tambahan, atau langsung kirim email ke admin@nulisbuku.com berisi judul buku dan jumlah yang ingin dibeli. Murah kok, 35rb saja. Dan royalti yang didapat akan disumbangkan untuk biaya pendidikan adik asuh.

Tuesday, February 21, 2012

Ratu yang Bersedih

Seekor cerpelai sedang bermalas-malasan di padang rumput yang luas. Suasana yang sangat hening dan damai, dengan angin yang bertiup dengan lembut, hanya berlangsung beberapa saat saja. Entah darimana datangnya, langit yang tadinya cerah tiba-tiba mengamuk. Blarr! Petir tiba-tiba muncul dan membuyarkan kedamaian tadi. Cerpelai itu pun terbangun dengan kaget, dan langsung lari tunggang langgang mencari tempat yang aman.

Setelah lima kali petir menggelegar, awan hitam pun dengan cepat menutupi langit, dan menyirami bumi dengan air hujan. Hujan turun dengan cukup deras, dan menghentikan segala aktivitas masyarakat di negeri itu. Mereka menunggu hingga hujan reda.

Tapi ternyata hujan tak lantas berhenti. Beberapa jam kemudian, derasnya guyuran hujan tak kunjung reda. Beberapa jam itu pun berlanjut menjadi sehari, dan kemudian menjadi beberapa hari. Selama tujuh hari, hujan terus turun tanpa henti, menyebabkan orang-orang bertanya-tanya.

Negeri itu berada di dalam wilayah kerajaan Bolsom, yang dipimpin oleh seorang ratu. Tidak banyak yang diketahui oleh para penduduk mengenai kerajaan itu. Yang mereka pahami adalah, kerajaan Bolsom-lah yang mengendalikan cuaca di negeri itu, dan karenanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan mereka. Adapun mereka tak pernah melihat secara langsung seperti apa kerajaan Bolsom, karena letaknya yang tersembunyi di dimensi lain, meskipun secara topografi, kerajaan itu berada di permukaan bumi yang sama dengan yang mereka tempati.

Bagi mereka, lokasi dimana kerajaan Bolsom berada, hanyalah sebuah padang rumput hijau yang luas. Sedangkan bagi para penghuninya, kerajaan Bolsom berisi bangunan-bangunan berperadaban tinggi, dengan istana yang megah dimana ratu penguasa kerajaan itu berada. Selain itu, terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai stasiun cuaca, yang terletak ribuan meter di atas permukaan tanah.

Normalnya, hujan turun setiap hari pada musim tertentu, tapi itupun dalam selang waktu yang tidak terlalu lama. Yang terjadi kali ini merupakan sebuah anomali. Jangankan orang awam, penduduk kerajaan Bolsom pun ikut heran dengan keanehan ini. Mereka mengira terjadi suatu kerusakan di stasiun cuaca sana. Seperti halnya yang terjadi di dunia luar, hujan pun turut mengguyuri kerajaan Bolsom tanpa jeda.

~

Ribuan kilometer dari kerajaan Bolsom, jauh di sekitar daerah kutub, terdapat dataran luas yang seluruh permukaannya tertutup salju. Seorang laki-laki berdiri di tengah-tengahnya, memakai mantel bulu yang tebal untuk melindunginya dari hawa yang dingin. Beberapa ekor beruang putih besar nampak mengelilinginya, namun dia tampak nyaman-nyaman saja berada di sana.

Brrrtt... Sesuatu berbunyi. Laki-laki itu merogoh sakunya dan mengeluarkan semacam alat komunikasi, semacam telepon. Dia meletakkan alat itu ke mulutnya dan menekan tombolnya.

 “Pangeran Novak? ” terdengar suara wanita dari alat itu.

“Ya. Ada perlu apa memanggilku, Milla?”

“Ini mengenai Ratu.”

“Ada apa dengannya?” tanya Novak dengan nada serius.

“Sudah tujuh hari ini hujan turun tanpa henti. Kami membutuhkan bantuan Anda, untuk berbicara dengan Ratu.”

Novak menghela napas dan berpikir sejenak.

“Aku segera ke sana dalam dua menit,” katanya sambil memutus komunikasi.

Novak menolehkan kepalanya, mencari-cari letak kerajaan Bolsom. Setelah memastikan arahnya, dia memusatkan pikirannya, memperhitungkan berapa jauh letaknya dari padang salju itu. Sedetik kemudian, diiringi suara letupan kecil, dia lenyap begitu saja.

~

Pangeran Novak muncul kembali di luar istana kerajaan Bolsom, di tengah-tengah hujan yang masih turun dengan derasnya. Novak memang memiliki kemampuan untuk melakukan teleportasi, salah satu dari banyak kemampuan yang dimilikinya. Dengan segera dia memasuki ruangan utama istana, dimana Komandan Milla, wakil sang ratu, sudah menunggunya di sana.

Novak memandangi Milla yang tinggi dan memakai jubah kebesarannya yang bermotif polkadot hitam abu-abu, yang membuatnya tetap terlihat berwibawa.

“Dimana sang Ratu?” tanyanya tanpa basa-basi.

Milla menunjuk ke atas.

“Di stasiun cuaca. Kami sudah berusaha menyusulnya ke sana, tapi dia menahan akses elevatornya. Sebelumnya, dia juga sudah mengusir semua petugas di stasiun.”

“Jadi dia mengurung diri di sana. Apa saja kerusakan yang ditimbulkan?”

“Banjir di beberapa tempat, dan para penduduk tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Semuanya terhambat karena hujan terus turun.”

“Baiklah. Aku akan bicara dengan Ratu.”

Novak pun berjalan keluar, diikuti dengan Milla. Mereka memandang ke atas, ke arah awan hitam yang menutupi langit Bolsom. Stasiun cuaca dimana Ratu berada sekarang letaknya lebih tinggi daripada lapisan awan itu. Dikarenakan sang Ratu menahan elevatornya, dan dia tak bisa melakukan teleportasi langsung ke sana, hanya ada satu cara yang tersisa.

Novak membungkukkan tubuhnya sejenak, kemudian melesat terbang ke atas. Dengan kecepatan terbang yang tinggi, dia menerobos butir-butir hujan yang menghalanginya. Ketika petir menyambar, dengan mudah saja dia menepisnya ke samping. Dalam beberapa detik, Novak sudah menembus lapisan awan hitam, dan muncul di atasnya.

Berbeda dengan suasana di bawah, di atas sana, langit sungguh cerah. Hujan dan petir hanya terjadi di bawah lapisan awan hitam. Novak yang masih melayang di udara, mengalihkan pandangannya, dan menemukan stasiun cuaca itu.

Stasiun cuaca itu berupa bangunan berukuran kecil yang kelihatannya melayang di angkasa, padahal di bagian bawahnya, terdapat pondasi yang menopangnya hingga ke permukaan tanah. Novak segera terbang ke sana, dan tiba pada balkonnya yang terbuka. Dia berjalan menyusuri sisi balkon yang berpagar itu, dan menemukan seseorang di ujung satunya, berdiri membelakanginya.

“Hai,” sapanya.

Orang itu menoleh ke arahnya, dan terlihatlah wajahnya. Wajah perempuan muda yang sangat cantik. Sang Ratu.

“Kakak...” ujar sang Ratu.

~

Jadi, di balkon stasiun cuaca itu, kakak dan adik itu bertemu. Novak yang masih memakai mantel bulu tebalnya, dan sang Ratu yang memakai gaun berwarna biru. Novak menghampirinya.
“Apa yang terjadi, Chloe?” tanya Novak, menyebut nama asli adiknya.

Chloe, sang Ratu, tak menjawab. Matanya berkaca-kaca. Novak memegang pundaknya, dan menatap matanya dalam-dalam. Kemampuan lain yang dimilikinya adalah membaca pikiran orang lain melalui matanya.

Beberapa bayangan dan memori muncul di hadapan Novak. Tentang Pangeran Luis, tamu kehormatan di Bolsom yang mengatakan pada Ratu Chloe bahwa dia mesti kembali ke kerajaan Argento, negeri asalnya. Dia sudah dijodohkan dengan putri dari kerajaan tetangganya.
Novak pun mengerti. Dia memeluk adiknya erat-erat, dan Chloe pun mulai menangis. Hujan pun turun semakin deras, seiring dengan derasnya tangisan sang Ratu.

“Kau sangat mencintainya, ya? Tapi kau bahkan tak pernah mengatakan perasaanmu padanya.”

Beberapa menit kemudian, tangisan Chloe pun mereda. Novak memegang kedua bahunya, dan berkata,

“Dengar, Chloe. Wajar kalau kau merasa sedih karena hal ini, tapi kau harus ingat, kalau kau ini adalah seorang ratu. Kau harus tetap kuat. Masih banyak masalah-masalah besar lainnya yang akan muncul di kemudian hari.”

Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Chloe menjawab perlahan.

“Aku hanya seorang gadis kecil. Umurku pun baru 17 tahun. Aku tidak kuat sepertimu, kak Novak.”

“Tapi kau tetaplah seorang ratu. Kau harus belajar untuk menjadi kuat. Kerajaan Bolsom membutuhkan pemimpin yang kuat, dan kau pasti bisa menjalankan peran itu dengan baik.”

“Bagaimana caranya? Ayah dan Ibu sudah tidak ada, dan kakak sudah setahun terakhir ini pergi meninggalkan kerajaan. Siapa yang akan mengajariku?”

Novak terdiam. Meninggalkan adiknya sendirian menanggung beban berat sebagai pemimpin kerajaan ini merupakan sebuah kesalahan. Dia tahu itu. Apa mau dikata, dia pun memiliki masalahnya sendiri, yang menyebabkannya mesti mengasingkan diri.

“Ajari aku supaya aku bisa kuat, kak...” pinta Chloe.

Novak memandangi Chloe.

“Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.”

Novak menggandeng tangan Chloe, kemudian memusatkan pikirannya. Sesaat kemudian, mereka pun lenyap.

~

Novak membawa Chloe ke padang salju tadi, tempat dimana dia menghabiskan waktunya setahun terakhir ini. Dia melepas mantel bulunya, dan memakaikannya ke Chloe yang menggigil kedinginan.

“Chloe, kau memintaku untuk mengajarimu menjadi kuat. Kenyataannya adalah, aku perlu pergi ke tempat yang dingin ini, untuk membekukan hatiku dan mematikan semua emosiku. Dengan cara itulah, aku bisa melupakan masalah berat yang kualami setahun yang lalu.”

Dengan ragu, Chloe bertanya, “Berhasilkah?”

“Tentu saja,” jawab Novak dengan cepat.

“Ajari aku caranya.”

Novak tak langsung menjawab. Dia membawa Chloe berjalan sebentar menyusuri padang salju itu, ke sebuah bangunan kecil yang terbuat dari es. Di dalam lapisan es itu, terdapat sebuah benda kecil, membeku.

“Itu, adalah sebagian dari hatiku, yang berisi segala macam perasaan dan memori tentang kehilangan orang yang kucintai. Sengaja kukeluarkan, dan kubekukan di tempat ini, agar aku tak perlu mengingat dan merasakan apapun tentangnya lagi.”

Chloe diam dan mendengarkan.

“Setahun yang lalu, sewaktu Ellen tiada, aku menyalahkan diriku sendiri. Semua kemampuan yang kumiliki ternyata tidak berguna sama sekali untuk menyembuhkan penyakitnya. Semua dokter yang kudatangi pun tak mampu mengobati penyakit misterius yang dideritanya. Karena kesal terhadap diriku sendiri, aku pergi ke tempat ini hingga hatiku beku seperti es.”

“Chloe, kau lebih kuat dari yang kau kira, jauh lebih kuat dariku. Ayah memilihmu untuk menggantikannya karena mengetahui hal itu. Kau tidak perlu mengikuti jejakku dengan mengasingkan diri di tempat ini. Kau bisa melalui semua masalah yang kau hadapi, tanpa perlu mematikan perasaanmu seperti yang kulakukan.”

Chloe yang sedari tadi mendengarkan, merasa bebannya sudah jauh berkurang. Dia mendongak memandangi langit dimana bintang-bintang yang bertebaran membentuk sebuah rasi yang dikenalnya.

“Ayah bilang, leluhur kita berasal dari salah satu bintang di atas sana. Sekarang hanya kita berdua yang tersisa. Kak, aku tidak bisa melakukan semua ini sendirian. Aku butuh petunjukmu.”
Novak mengangguk.

“Aku mengerti. Mulai saat ini, aku akan terus berada di sisimu, membantumu untuk mengatasi semua persoalan dan membuatmu menjadi seorang Ratu yang tangguh.”

Chloe tersenyum. Senyum pertamanya sejak seminggu terakhir.

~

Ketika mereka kembali ke Bolsom, hujan sudah berhenti. Sebagai gantinya, penduduk di seluruh negeri menyaksikan salah satu pemandangan paling indah yang pernah mereka lihat. Pelangi berukuran besar, yang menghiasi langit di seluruh pelosok negeri selama sehari penuh.

Novak memandangi Chloe yang tertidur dengan pulas di kamarnya. Dia memang membutuhkan istirahat, setelah seminggu terakhir yang berat ini. Novak keluar dan berbicara dengan Milla.

“Ada satu hal lagi yang mesti kubereskan. Aku segera kembali.”

Dengan kemampuan teleportasinya, Novak kembali ke padang salju, ke bangunan es tempat hatinya membeku. Dia tidak sepenuhnya berkata jujur. Selama bagian dari hatinya masih berada di dekatnya, biarpun sudah membeku, dia masih bisa mengingat kenangan tentang Ellen, istrinya yang sudah tiada.

Jadi, diterobosnya lapisan es itu, dan dipungutnya serpihan hatinya. Kemudian dia berteleportasi lagi.

Palung di sekitar lautan Pasifik disebut sebagai salah satu palung terdalam di dunia. Di sanalah Novak berada. Sambil menyelam, dijatuhkannya potongan hati yang dipungutnya tadi, ke dasar palung yang dalam itu.

“Selamat tinggal, Ellen.”

Dan dia pun kembali lenyap, kembali ke kerajaan Bolsom. Sementara sebagian hatinya, perlahan tenggelam semakin dalam, dan menghilang untuk selamanya.

~END~


Keyword: cerpelai, salju, polkadot, rasi, palung
9976 karakter.

Cerpen ini diikutsertakan dalam rangka Lomba Fiksi Fantasi 2012.

Sunday, February 19, 2012

Jurnal 19 Februari 2012

Minggu yang penuh kejutan. Mulai dari hari Senen, dimana gw libur dan jadinya ngabisin waktu buat baca lagi And Then There Were None, atau waktu dulu pertama kali gw baca pas SMP, judulnya adalah 10 Anak Negro. Di hari itu ada insiden kecil, dimana karena kemaren2 ujan deres, waktu gw turun dari balkon (atas genteng), gw kepleset di tangga. Jadinya selain ngilu, juga lecet di tangan kanan. Bener-bener deh. Sebenarnya membahayakan juga itu, di kesempatan laen mungkin aja gw keplesetnya sampe guling2 ke bawah, dan bisa fatal.

Selasa itu gw masuk 24 jam. Situasi normal2 aja sih, hingga kemudian malam tiba. Entah karena hari itu Valentine's Day, rekan-rekan dan senior jadi ngobrol dengan tema serius. Pertama, nasehatin gw biar lebih menikmati hidup. Jangan twitteran mulu, kesannya gw antisosial. Yah, emang bener sih. Kalopun libur gw jarang keluar rumah, karena males, dari Depok kemana2 jauh boi >_<. Tapi bukannya orang2 juga banyak yg begitu ya, yg masuknya reguler, dan udah capek tiap hari abis kerja, dan langsung pulang aja. Ya rada sulit sih, kalo rumahnya jauh, mesti pulang cepet, kalo ga ya nanti kemaleman dan susah pulangnya.

Nasehat berikutnya lebih membahayakan. Intinya adalah: cari pacar sana, dan cepet nyusul temen2 yg udah nikah. Masya Allah. Akhirnya hanya bisa mendengarkan saja. Bukannya ga mau nyari, tapi emang ga peduli aja sih. Jatuh cinta aja jarang banget. Sukur2 kemaren bisa ngerasain lagi. Daripada stres mikirinnya, mending ga usah dipikirin kan.

Besoknya, pagi2 tiba ditelpon kakak, diajak buat mudik ke Klaten, karena mbah sakit. Jadinya ga sempet pulang, dan langsung ke gambir aja dan bareng naek damri ke bandara. Tadinya sih ga pengen ikut, tapi karena diingetin kalo udah brapa tahun gw ga ke sana, plus, naek pesawat untuk pertama kali, yaudah jadinya ikut. Begitulah, baru pertama kali inilah gw naek pesawat. 1st timer.  Jaga sikap aja biar ga keliatan norak. Ada hal-hal yg akhirnya gw alami dan pelajari utk pertama kali, meskipun sudah sering banget liat adegan bandara dan terbang di film2. Seperti misalnya prosedur pemeriksaan, ato bahwa kita mesti bayar lagi cuma buat masuk ke ruang tunggunya. Atau suara bising di telinga waktu pesawat naik (perbedaan tekanan, ga masalah sih), dan sensasi zero gravity waktu pesawat nurunin ketinggian (kayak naek kora2 di dufan).

Pesawatnya sampe ke Solo, trus abis itu dijemput sama om, dan naek mobil sampe Klaten. Lagi2, di perjalanan diceramahin lagi soal yg sama dengan semalemnya. Btw gw berangkat ke kantor selasa pagi, dan ga sempet pulang ke rumah, jadinya laptop juga masih dibawa, dan belom mandi pula. Gatel. Mandinya pun mesti ditunda lagi, karena kita langsung ke rumah sakitnya. Mbah itu udah sepuh banget, sekitar 85. Kalo menurut gw sih, ya sakitnya karena emang udah tua.

Now at this point, you probably already guess that I am not such a good person. Because I'm not. I rarely feel anything about anything. Including this one. Added to the fact that I don't really like him, and I think this is all just stalling time. Waktu dia kumat dan ngamuk2 minta dilepas infusnya dan kita berusaha nahan, gw mikir mungkin lebih baik kalo dia dibiarin aja. Jahat ya gue?

Setelah itu, besok2nya masih jenguk dan kebagian jaga di kamar inapnya. Meskipun gw ga sering2 sih. Sampe kemudian pulang lagi hari Sabtunya, dengan kondisi mbah sudah rada mendingan, sudah sadar sekarang. Yg kemaren2 itu waktu dia ngamuk ternyata halusinasi, kayak orang masih tidur gitu lah. Kita pun pulang lagi, naek pesawat lagi, karena selain cepet (terbangnya cuma sejam, dibanding kereta bisa lama bgt), ada tiket yg murah. Sabtu malem udah balik lagi ke rumah di Depok.

Balik2 ternyata dapet kiriman buku, kumpulan cerpen ayah, yg waktu itu gw tulis juga. Tapi ternyata bukunya kecil gitu, diterbitin sendiri, dan ga dijual (beda dgn nulisbuku). Ga nyangka juga sih, udah agak lama soalnya.

Selama di Klaten, sebenarnya udah mikir terus tentang ide cerita untuk bikin fiksi fantasi. Kalo surat yg foryoungerme sih emang udah kepikiran dari kemaren2nya. Setelah dibaca lagi, rada biasa ya, ga begitu emosional kayak yg laennya. Apalagi kalo baca suratnya pluto. Banyak hal2 baru yg gw tau tentang dia, dan kalo gw yg baca aja sampe haru gini, apalagi dia yg nulisnya. And it's such extraordinary experiences that she had. I was about to give a comment about it, and stopped at the part May 2012, where she's getting married.

Truly surprising. And suddenly I feel empty. Until about a week ago, I still think that I love her. When things became clear, and I tried to getting to know her better as a friend, this news came. Devastating. Not because I still have some expectations, but I'm afraid we can't stay being friends after she got married. It's kinda inappropriate getting close with a married woman, or perhaps I'm just exaggerating things?

Dua jam saja, gw bermurung diri. Ada yg namanya The Art of Accepting Things. Kan sudah dari minggu lalu meyakinkan diri kalo kita ga akan jodoh. Besides, I don't think I deserve her more than the guy who's about to marry her. He has been her close friend, and clearly he knows her better than me. She rejected him twice, and still he's not giving up. He did the right thing by proposing a marriage. I wish, I had a chance to meet her earlier, and had the same courage as him. So I'm just gonna cease all romantic feelings that I have, and turn it into something good.

Jadinya semua ide yg kemaren2 kepikiran tentang fiksi fantasi itu ga ada yg nemplok, malah tadinya gw mau batal aja bikin. Tapi setelah momen berdamai dengan diri sendiri ini, jadi kepikir nulis dengan tema yg berbeda.

Friday, February 17, 2012

beberapa pesan ke masa lalu

Surat ini ditujukan untuk kamu yang sedang duduk di kelas 2 SMA. Perhatikan baik-baik, karena surat ini ditulis oleh dirimu di masa depan. Oh, jangan kuatir, situasi di sini baik-baik saja. Aku cuma mau kasih beberapa masukan biar situasimu menjadi lebih baik, karena menurutku yang sudah mengalaminya, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki.

Dalam waktu dekat, atau mungkin sudah terjadi, pada suatu sesi pelajaran PPKn, Pak Guru akan kumat isengnya, dan mulai ngomentarin nama-nama kalian. Dia akan sampai ke namamu (Dwi), dan akan mengkaitkannya dengan nama murid sebelum kamu (Dewitri), dan dia akan mulai nanya yang aneh-aneh, seperti: “Lho, ini namanya mirip ya, Dwitri?” Dan itu adalah awal dari situasi awkward yang seterusnya akan kamu rasakan ke cewek itu.

Setelah itu, murid-murid lain akan mulai berkomentar ‘cie-cie’ dan mulai ngegosipin kamu dan cewek itu. Saranku: mulailah untuk bertindak cuek dari sekarang. Kesalahan utama yang kulakukan adalah membiarkan gosip itu, membuatku jadi terbebani, dan ga bebas ngobrol ke dia. It’s unfair for her. Kalo dia bisa cuek, kenapa kamu juga engga. Mungkin kalian ga akan jadian, tapi paling ga, bertemanlah dengannya. Sering-seringlah ngobrol dengannya, toh dia duduknya pas di belakangmu.

Di awal semester dua, dia akan ikut serta dalam suatu lomba film independen. Bantu dia sebisamu. Mungkin kamu belum sadar sekarang, tapi di kemudian hari, kamu akan suka sekali menulis. Momen itu bisa jadi saat yang tepat untuk berlatih, dan ngasih kontribusi ke dia dan kelas kamu. Mulailah berimajinasi, membayangkan cerita-cerita apa yang melintas di kepalamu. Beritahu ke mereka, biar kalian bisa bersama-sama menyelesaikan satu film yang bagus.

Berikutnya, jangan mau kalo diminta jadi ketua panitia Idul Adha. Yang akan melakukan sebagian besar pekerjaan nanti ujung-ujungnya adalah ketua ROHIS juga, jadi kamu ga usah repot-repot pasang nama di situ. Percaya deh, itu bukan bidang kita.

Yang bisa kamu fokus salah satunya adalah: latihan yang lebih tekun. Kamu itu kuat, tapi kamu mestinya bisa lebih kuat lagi. Emang sih, di ekskul pencak silat ini, satu-satunya lawan tanding yang kelas beratnya setara dengan kita itu cuma Aji, ketuanya. Dan kita selalu kalah. Gapapa. Kamu ga perlu menang, tapi paling ga, sekali-dua kali, kamu mesti menyarangkan satu pukulan telak ke perutnya. Biar dia ga besar kepala. Kalo udah gitu, ga masalah mau menang atau kalah.

Nanti kalo sudah kelas tiga, ingat, belajarnya ga usah serius-serius banget. Sesekali, ga ada salahnya ngosongin beberapa soal ulangan atau ujian. Yang penting adalah konsentrasi terhadap minat kita, dan melatihnya sejak awal. Menulis dan belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris dulu, mesti dilancarin. Masalah nanti kuliah dimana, bagaimana pendapatmu tentang hal bernama: belajar otodidak? Ga terlalu sulit sebenarnya, mengingat waktu kuliah nanti, kita pun akan belajar mandiri juga pada akhirnya. Yang penting membiasakan diri dulu dengan internet, nanti pemrograman segala macam bisa dipelajari sendiri. Yakinlah.

Terakhir, ada dua hal penting yang harus kamu ketahui. Pertama, salah satu murid seangkatanmu akan menghilang, kemungkinan diculik, menjelang akhir kelas tiga. Peringatkan dia dan teman-teman dekatnya untuk mewaspadai dan mencegah hal itu. Kedua, beberapa kali akan terjadi kasus uang hilang di beberapa kelas, termasuk kelasmu. Berusahalah untuk mencari tahu siapa pelakunya. Ajak temanmu yang bisa dipercaya, Prana misalnya. Bagaimanapun caranya, kalian mesti membongkar kasus itu.

Dua hal tadi adalah hal-hal yang sampai sekarang pun masih menjadi misteri bagiku. Kalau kamu bisa menyelesaikan kedua hal itu, artinya aku bisa mempercayaimu untuk menangani masalah-masalah lain yang terjadi waktu itu. Tapi untuk sementara, berjuanglah sebisamu.

Oh, aku harus mengingatkanmu, kalau kamu menerima surat ini dan menuruti beberapa saranku tadi, kemungkinan besar masa depanmu akan berbeda dengan yang sudah kulalui. Artinya, kamu akan memiliki jalan hidupmu sendiri. Kamu tidak akan bertemu dengan orang-orang yang kutemui di kehidupanku. Hal itu tidak terlalu bermasalah, karena aku yakin kamu akan bertemu teman-teman yang lain, yang tidak pernah kutemui di kehidupanku. Semoga berhasil.



dari masa depan,
17 Februari 2012.


PS: Kalau sempat, sering-seringlah main ke GOR di samping sekolah. Lihatlah anak-anak perempuan yang sering main basket di sana. Salah satunya mungkin akan jadi temanmu.



===================
dibuat dalam rangka #ForYoungerMe

Monday, February 13, 2012

another review on 'And Then There Were None'


Membaca lagi 'And Then There Were None'-nya Agatha Christie, karena, ya... karena sudah lama juga gw ga baca buku. Jadi selama ini nulis aja, dengan patokan dan masukan dari cerita2 karya orang lain di blog, tapi bukan dari buku. Padahal mesti sering baca buku juga biar kosakata atau penggunaan katanya bener. Apalagi buku ini buku favorit gw.

Oke, sinopsis singkatnya: 10 orang diundang ke Pulau Negro, oleh orang misterius yang mengaku bernama U.N. Owen. Sepuluh orang ini bukan hanya orang biasa, karena masing-masing dari mereka (dianggap) pernah melakukan pembunuhan, dimana kasusnya sendiri lepas dari jerat hukum. Dan di pulau itu, mereka seakan dihukum oleh Mr Owen yang tak terlihat. Satu demi satu, mereka terbunuh, dengan cara kematian yang disesuaikan dengan syair '10 Anak Negro' yang cukup dikenal di daerah itu.

No need to tell, everyone dies. Dan iya, ada pelaku sebenarnya yang menjadi otak semua kejadian ini, yang ikut mati bersama mereka, dan baru diketahui di epilog, melalui surat pengakuannya sendiri.

Fokus yang mau saya tekankan adalah karakter Philip Lombard. Lombard ini seorang petualang yang sering berurusan dengan hal-hal yang berbahaya, di daerah-daerah pedalaman Afrika. Dia dipilih sebagai salah satu tamu di Pulau Negro, karena:

"Philip Lombard, pada bulan Februari 1932, Anda bersalah atas kematian dua puluh satu orang suku Afrika Timur."

Apa tanggapan Lombard tentang tuduhan ini? Di saat yang lainnya membantah tuduhan yang masing-masing diarahkan pada mereka, Lombard tanpa ragu mengaku memang dia membiarkan mereka mati, dengan alasan untuk bertahan hidup. Dengan mengesampingkan masalah moral (afterall, everyone's guilty), Lombard ini cerdas, kuat, dan waspada. Dia salah satu orang yang sudah memiliki bayangan akan terjadi sesuatu yang tidak beres dengan pulau itu, dan karenanya dia membawa pistol untuk berjaga-jaga.

Now, jika ada orang yang bisa selamat dan bertahan dari semua kejadian di pulau Negro, dia adalah Philip Lombard. Kecurigaan awalnya terhadap siapa pelaku yang menyamar sebagai Mr Owen pun terbukti tepat. Hanya saja, memang sulit memperkirakan kalau orang yang dicurigainya itu ternyata menjadi korban lebih awal (berpura-pura mati tepatnya), dan membuat perhitungannya menjadi meleset setelahnya.

Ketika tinggal 3 orang tersisa, Lombard, Blore, dan Vera Claythorne, situasi memanas setelah Blore ditemukan tewas, dan sesudahnya Armstrong, yang tadinya mereka curigai, juga ditemukan tewas. Inilah yang mengacaukan kesempatan Lombard untuk selamat.

Mau tak mau Lombard dan Vera saling mencurigai yang lainnya. Berakhir karena Lombard lengah, dan Vera mengambil pistolnya, dan kemudian menembaknya tepat di jantungnya.

How? How? Bagaimana bisa Lombard bisa terbunuh oleh seorang wanita yang mungkin tidak pernah memegang pistol sebelumnya?

Selain ceroboh, juga karena Lombard tidak mewaspadainya. Karena Vera seorang wanita, dia menganggap dia tidak terlalu berbahaya. Memang sebelumnya dia sendiri menyatakan pendapatnya kalau pelakunya tidak mungkin wanita, dan dengannya, tanpa sadar sudah meremehkan Vera. Dan satu hal lagi, Lombard tertarik padanya. Ini jelas menyebabkannya lengah. Poor Lombard.

Kalau saya boleh memberi modifikasi pada cerita ini, saya ingin Lombard tetap hidup, dan karenanya Vera juga. Lombard tidak akan membunuh Vera, tapi jelas mereka saling curiga. Yang mungkin dilakukannya adalah: menjaga jarak, sampai bantuan datang. Kalau mereka bertemu dengan pelaku sebenarnya yang berpura-pura mati, tentulah mereka akan mampu memahaminya. Dan saya juga yakin Lombard bisa selamat dari pembunuh itu.

Sunday, February 12, 2012

#8HariReviewFilm

Tepatnya bukan 8 hari berturut-turut bikin review film sih, tapi bikin review dari 8 film terakhir yang ditonton, berturut-turut. Pengennya sih kayak yg di situs2 review film di adithiarangga itu, tapi kok kayaknya kalo gw review, plotnya dibeberin semua sejelas-jelasnya. Mungkin emang itu tipe gw nulis review, hehe.

Anyway, selain There Be Dragons dan Signs, enam film lainnya adalah film2 imdb top 250. Jadi serasa pekan film-film klasik gini. Jadi, film-film yang direview antara lain:

1. There Be Dragons (2011)
perjalanan hidup dua orang sahabat yang bersebrangan jalan, yang satu menjadi pendeta, yang satu menjadi pemberontak.
2. The Lives of Others (2006)
kisah menyentuh tentang perwira tinggi SS yang memata-matai sepasang kekasih, untuk kemudian menjadi bersimpati pada mereka.
3. M (1931)
perburuan pembunuh anak-anak yang sedang merisaukan warga kota, memaksa kaum mafia untuk bertindak.
4. Signs (2002)
sebuah keluarga yang mesti bersatu dalam menghadapi ancaman datangnya mahluk ET yang terutama mengancam rumah mereka.
5. The Bridge on the River Kwai (1957)
kisah epic tentang pembangunan jembatan di sungai Kwai, oleh tentara Inggris yang menjadi tahanan Jepang pada perang dunia II.
6. Witness for the Prosecution (1957)
seorang pengacara senior mesti membuktikan bahwa kliennya yang dituduh membunuh, tidak bersalah, dengan istrinya sebagai saksi.
7. The Grapes of Wrath (1940)
kisah memilukan tentang perjuangan seorang laki-laki dan keluarganya selama masa Great Depression berlangsung di Amerika.
8. Judgment at Nuremberg (1961)
kisah epic tentang bagaimana pengadilan terhadap 4 hakim era Nazi yang didakwa karena ikut berperan serta dalam kejahatan kemanusiaan.

Sesudah ini, kayaknya gw ga akan sering2 nulis review. Capek juga boi soalnya. Mending langsung nonton aja, trus lanjut nonton film berikutnya.

Jurnal 12 Februari 2012

Dua kali gw ngelewatin nulis jurnal, karena waktu itu sedang dalam keadaan yang ga menentu. Sekarang, setelah masalah sudah selesai, mari lanjut nulis.

Dengan sangat disayangkan, nulisbarengnya tidak akan berlanjut. Karena terdapat perbedaan pendapat dan jadwal yang ga cocok, yasudah, berhenti. Oh, gw masih bisa lanjut nulis, tapi kalo sendiri kan namanya bukan nulisbareng, tapi ya nulis aja. Dan untuk cari partner lain, gw ga mau, karena juga belom tentu ada yang mau. Anyway, I'll think of something.

Jadinya dua minggu ini, setelah #15haringeblogFF yang cukup melelahkan itu, gw fokus untuk nonton film, dan nulis reviewnya. Variasi sih bilangnya, tapi sebenarnya sekalian pelarian juga dari masalah nulis2 ini. Tapi sekali gw nulis, untuk FFberantai di coffee shop itu, dan ternyata malah dijadiin buku dong, hehe. Jadinya sekarang nambah lagi tulisan gw yg masuk ke buku. Dan lagi nunggu kabar lagi nih yang 15haringeblogFF itu juga mau dibikin buku. Semua yg berpartisipasi nulis kebagian masuk sih, cuma yg gw ga yakin sih mas momo agak ngasal aja nentuin tulisannya yg mana. Menurut gw sih, mending tiap orang ditanya, postingan terbaik mereka yg mana, yg mau dipublikasikan ke buku.

Lalu kabar gw gimana? I'm fine. Kemaren2 juga bikin surat lagi, surat damai istilahnya, hehe. Karena ini bukan perang, tapi lebih merupakan kesalahpahaman yg diselesaikan dengan perjanjian damai di kapal USS Bakmi GM. Seperti yg gw bilang di surat damai itu, gw lega karena sudah lepas dari ketidakpastian. Asal suratnya jangan dibaca terus2an sih, soalnya nanti keinget, betapa hampanya hati ini.

Review Film: Judgment at Nuremberg (1961)


Director: Stanley Kramer
Cast:
Spencer Tracy
Burt Lancaster
Richard Widmark
Maximilian Schell
Marlene Dietrich
Judy Garland
Montgomery Clift

Plot:

Tiga tahun setelah Perang Dunia II berakhir, pengadilan militer diadakan di Nuremberg, Jerman, untuk mengadili 4 hakim yang bertugas pada saat Hitler berkuasa. Pengadilan diselenggarakan oleh Amerika yang saat itu menduduki Jerman setelah perang usai. Hakim Dan Haywood (Tracy) dipercaya untuk memimpin sidang tersebut, dan diterbangkan ke Jerman.

Empat hakim itu didakwa karena turut berperan serta membantu Nazi melakukan kejahatan kemanusiaan, dimana jutaan orang menjadi korban akibat eksekusi di kamp konsentrasi dan pelanggaran HAM lainnya. Mereka adalah Emil Hahn, Fredrich Hoffstatter, Werner Lammpe, dan Ernst Janning (Lancaster). Seorang konsel, Hans Rolfe (Schell), menjadi pengacara pembela mereka, terutama mewakili Janning yang menolak untuk berbicara selama persidangan.


Pihak penuntut yang dipimpin Colonel Lawson (Widmark) dalam argumennya menekankan bahwa para hakim ini, yang mestinya paham tentang hukum dan keadilan, mesti dihukum seberat-beratnya karena membiarkan, dan turut membantu terjadinya pembunuhan massal pada era Hitler. Sementara argumen dari Rolfe menyebutkan bahwa Janning semata-mata hanya menjalankan peraturan yang sedang berlaku, karena percaya bahwa hal itu demi kepentingan negara.

Saksi pertama yang diajukan adalah Dr Wieck, yang dulu adalah mentor dari Janning. Berbeda dengan Janning, ketika Hitler mulai berkuasa, Wieck memilih untuk tidak berpartisipasi dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim. Dari kesaksiannya ini, Hakim Haywood mengenal lebih jauh orang seperti apa Ernst Janning ini. Janning adalah seorang hakim yang dikenal baik di masyarakat, menjalankan tugasnya dengan baik, dan menjadi semacam panutan. Karena itulah, fakta bahwa Janning menjadi bagian dari kejahatan perang ini membuatnya penasaran dan ingin mempelajari tentang Jerman lebih lanjut.

Haywood kemudian bertemu dengan Mrs. Bertholt (Dietrich), orang yang sebelumnya menempati rumah besar yang saat ini ditinggali Haywood selama dia berada di Jerman. Suaminya yang juga kalangan militer di Jerman, dieksekusi oleh pengadilan yang juga dituntut oleh Lawson.


Saksi selanjutnya yang dihadirkan Lawson adalah salah satu korban sterilisasi, yang membuat mereka tidak bisa memiliki keturunan. Rudolph Petersen (Clift), ketika dalam sebuah tes untuk membuat lisensi mengemudi, mendapat pertanyaan tentang kapan ulang tahun Hitler. Setelah mengatakan tidak tahu dan tidak peduli, Petersen kemudian dinyatakan perlu disterilisasi, dan dipindahkan ke sebuah rumah sakit. Akan tetapi Rolfe dengan cerdik menunjukkan bahwa Petersen termasuk golongan terbelakang, yang menurut peraturan mesti disterilisasi. Dari sini terlihat bagaimana Rolfe seringkali menekan dan meruntuhkan mental saksi untuk melakukan pembelaannya.

Pada waktu sidang reses, Haywood sering menghabiskan waktu dengan Mrs Bertholt. Mereka menjadi cukup dekat, meskipun Haywood sadar bahwa dia harus tetap menjaga pendiriannya agar tetap netral. Mrs Bertholt bersimpati pada Janning, dan berpotensi untuk mempengaruhi keputusan Haywood.

Di antara 4 hakim terdakwa itu, Janning yang pendiam, tidak terlalu berpihak pada rekan-rekannya. Dia terutama bersebrangan dengan Hahn yang bigot dan mendukung Nazi. Dua orang lainnya meskipun pasif tapi mengambil keuntungan dari kekuasaan Nazi. Sementara Janning, diliputi rasa bersalah karena sadar apa yang telah dilakukannya.

Lawson berhasil menemukan Irene Hoffman (Garland), korban kasus Feldenstein, dimana pemilik bangunan Feldenstein yang merupakan seorang Yahudi, dihukum mati karena dianggap memiliki hubungan dengannya yang waktu itu masih remaja. Kasus Feldenstein dijadikan contoh oleh Nazi sebagai pencemaran ras Arya mereka. Meski bimbang dan takut, Irene yang sekarang bernama Irene Wallner -menikah- akhirnya setuju untuk bersaksi.

Lawson kemudian menunjukkan arsip film dokumenter yang menggambarkan korban-korban kamp konsentrasi, dimana ribuan mayat hasil eksekusi mesti disingkirkan. Pemandangan yang mengerikan untuk dilihat. Pihak pembela berargumen mereka tidak mengetahui kalau situasi akan menjadi separah itu.



Rolfe menghadirkan seorang saksi dalam upayanya mendiskreditkan Feldenstein, dalam rangka menjustifikasi hukuman atasnya. Tidak terlalu berhasil, Rolfe kemudian menyerang saksi Irene Hoffman habis-habisan, berkali-kali menanyakan dengan nada keras apa saja yang sudah dilakukan Feldenstein padanya, mengarah ke hubungan seksual yang tak pantas. Irene pun teguh, mengatakan tidak ada yang terjadi.

Melihat situasi yang tak adil untuk Irene, Janning angkat bicara dan menginterupsi Rolfe. Janning kemudian membuat pernyataan sebagai saksi. Dalam pernyataannya yang cukup panjang, dia mengaku bersalah, dan bahwa mereka sepenuhnya sadar apa yang terjadi dengan pembantaian jutaan orang yang menjadi korban. Dia membeberkan seburuk apa rekan-rekannya, dan menambahkan bahwa dialah yang paling buruk, karena meskipun mengetahui semua itu, tapi dia tetap menjadi bagian dari mereka.

Dengan Janning sendiri menyatakan bersalah, pernyataan pembelaan dari Rolfe kemudian menuntut bahwa kesalahan akibat kekejaman Nazi selayaknya tak hanya tanggung jawab orang-orang jerman saja, tapi seluruh dunia karena telah membiarkan dan menyebabkan hal itu terjadi. Sementara Lawson mendapat tekanan dari atasannya agar tidak menuntut hukuman yang terlalu berat, karena pihak Sekutu membutuhkan bantuan Jerman saat itu untuk menghadapi ancaman perang dari Rusia.

Dalam keputusannya, Hakim Haywood menekankan beberapa pernyataan dari Rolfe dan Janning, dimana beberapa diantaranya mengandung kebenaran. Keempat terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum seumur hidup. Keputusan ini mengecewakan banyak pihak, termasuk rakyat Jerman, dan militer Amerika yang butuh dukungan Jerman. Meski begitu, Lawson justru berpendapat bahwa Haywood terlah mengambil keputusan yang tepat.


Sebelum kepulangannya ke Amerika, Haywood mencoba menghubungi Mrs Bertholt, tapi teleponnya tak dihiraukan. Rolfe mendatangi Haywood, mengatakan bahwa Janning ingin bertemu dengannya. Rolfe juga menyatakan pendapatnya bahwa dalam beberapa tahun hakim-hakim itu akan dibebaskan, mengikuti perubahan situasi yang ada. Haywood setuju, bahwa hal itu mungkin, karena logis.
"but to be logical is not to be right." jawabnya ke Rolfe.

Haywood pun bertemu dengan Janning di ruang tahanannya. Janning mengaku memiliki respek yang tinggi padanya, dan mengatakan bahwa dia tidak menyangka bahwa situasi akan menjadi sedemikian mengerikannya. Haywood menjawab, sewaktu Janning pertama kali menjebloskan orang tak bersalah ke kematian, dia sudah tahu.

Pada credit penutup, disebutkan bahwa semua tahanan yang menjadi terpidana pengadilan Nuremberg dan mendapat hukuman seumur hidup, tidak ada yang menjalani hukuman itu sampai tuntas. Membuktikan perkiraan Rolfe sebelumnya.

Komentar:

EPIC pokoknya. Film berdurasi 3 jam lebih ini, dari awal sampai akhir membuat kita tersedot untuk terus mengikutinya. Yang menjadi topik diskusi untuk penonton adalah, seberat apa hukuman untuk para hakim itu yang seharusnya pantas? Menurut gw sih, memang keputusan hakim Haywood yang memberikan hukuman seumur hidup itu memang sudah tepat (meski kemudian mereka dibebaskan lebih awal).

Dan gw masih ga suka dengan pengacara, yang sering memojokkan pihak2 yang bersebrangan dengan mereka. Liat aja Rolfe yang teriak-teriak ke saksi (meskipun karena itu Maximilian Schell menang Oscar), atau Lawson yang menghina Janning.

Perlu dipertanyakan juga kepentingan Amerika yang menyelenggarakan sidang, apa mereka memang berkompeten untuk mengadili Jerman, dimana mereka sendiri mungkin tidak lebih baik. Nyatanya begitu ada perang baru muncul dan mereka butuh bantuan Jerman, pihak militer inginnya hakim2 itu dihukum ringan. Ga jelas kan pendiriannya Amerika ini.

Anyway, stellar cast. Banyak bintang2 yang bayarannya lebih rendah dari biasanya, demi bisa berkontribusi di film ini, karena menurut mereka film ini penting.
myRating: 9.5.

Friday, February 10, 2012

Review Film: The Grapes of Wrath (1940)


Director: John Ford
Cast:
Henry Fonda
Jan Darwell
John Carradine

Plot:

Tom Joad (Fonda), yang baru bebas dari penjara, pulang ke rumahnya dan mendapatinya dalam keadaan terlantar. Dia bertemu dengan Casy (Carradine), bekas pendeta yang menjelaskan bahwa semua ladang di daerah itu sudah diambil alih oleh bank. Akibat Great Depression yang melanda Amerika kala itu, orang-orang dipaksa untuk meninggalkan rumah dan ladang yang dimilikinya dan pindah ke tempat lain untuk mencari pekerjaan.


Tom bertemu dengan keluarga besarnya, ibunya, Ma Joad (Darwell), ayahnya, adik, sepupu, paman, serta kakek-neneknya tinggal di rumah pamannya. Mereka pun tak berapa lama meninggalkan tempat itu, karena sudah diminta untuk pergi oleh orang2 suruhan bank. Dengan menggunakan sebuah mobil semi truk yang kurang begitu kuat, mereka semua, termasuk Casy, melakukan perjalanan. Mobil yang tampaknya kelebihan muatan itu membawa mereka menuju tempat dimana ada pekerjaan, dimana disebutkan terdapat lowongan untuk 1000 orang untuk memetik jeruk.

Dalam perjalanan, mereka kehilangan satu persatu kakek, dan nenek Tom yang kondisinya tak cukup kuat. Meski begitu, mereka berhasil tiba dari Oklahoma ke California.

Pemukiman pertama yang mereka datangi hanyalah camp-camp berisi orang-orang seperti mereka, tak ada pekerjaan dan tak ada uang dan makanan. Tak berapa lama ada orang yang menawarkan pekerjaan untuk memetik buah. Salah satu rombongan Tom, yang kemudian diikuti Tom dan Casy, mempertanyakan keabsahan orang itu, karena curiga mereka tidak menawarkan kontrak dan upah yang jelas. Terjadi keributan, dimana ada orang yang tertembak, dan Casy dibawa pergi karena mengaku bersalah.


Tom dan keluarganya melanjutkan perjalanan, dan menemukan tempat pemukiman dimana mereka diberi pekerjaan dengan upah yang cukup kecil, dan mendapat rumah kecil untuk tinggal. Tom mendapati situasi yang mencurigakan, dimana petugas sering sekali melakukan pemeriksaan dan mendata nama mereka. Suatu malam, dia menyusup keluar, dan bertemu kembali dengan Casy, yang rupanya sekarang tergabung dalam gerakan buruh untuk menentang tindakan semena2 perusahaan yang memberi upah rendah.

Pertemuan itu tak berlangsung lama, karena petugas menemukan mereka dan memukuli Casy, yang kemudian mati. Tom pun membalas, sehingga seorang petugas mati. Tom bisa melarikan diri dan kembali ke keluarganya, dan menyadari bahwa mereka harus segera pergi. Dengan menyembunyikan Tom yang dicari-cari karena telah membunuh seorang petugas, mereka berhasil meninggalkan tempat itu.

Berikutnya, di saat situasi makin suram untuk mereka, harapan datang. Sebuah pemukiman milik pemerintah bersedia menampung mereka, dengan menyediakan pekerjaan dan situasi yang kondusif, dimana yang membuat peraturan adalah warga pemukiman itu sendiri. Akhirnya, Tom dan keluarganya bisa merasa sedikit nyaman. Meskipun pada suatu kesempatan, orang-orang perusahaan sempat mencari-cari masalah dengan memancing keributan, tapi berkat koordinasi yang baik antar warga, mereka berhasil mencegahnya.


Tom pun terpanggil untuk bergabung dengan gerakan untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat, seperti yang Casy katakan padanya. Keluarganya pun, tak berapa lama juga pergi melanjutkan perjalanan, dengan Ma Joad yang semangatnya kembali muncul karena tindakan Tom.

Komentar:

Depressing banget. Gw sebenarnya ga terlalu suka sering2 nonton film seperti ini, atau yg mirip2 itu The Pursuit of Happyness, yg menggambarkan suasana Great Depression. Sedih banget, karena situasi yang ditunjukkan cukup akurat dan sesuai dengan kejadian sebenarnya.

Orang-orang berada dalam keadaan tanpa pekerjaan, tanpa uang, dan kalaupun ada, mesti menerima diberi upah yang kecil sekali. Gak manusiawi. Bahkan orang tua dan anak-anak pun mesti bekerja. Pokoknya depressing banget deh.

Dan film yang aslinya adaptasi dari buku ini, padahal sudah mengubah beberapa aspek. Di bukunya, plotnya lebih hopeless lagi. Ah. Pokoknya dengan nonton ini, jadi merasa bersyukur dengan kondisi yang kita punya sekarang, yang jauh lebih baik dibandingkan situasi mereka yang berada pada Great Depression.
myRating: 9.

Thursday, February 09, 2012

Review Film: Witness for the Prosecution (1957)


Director: Billy Wilder
Cast:
Charles Laughton
Tyrone Power
Marlene Dietrich

Plot:

Sir Wilfrid (Laughton), pengacara kelas atas, yang baru saja keluar dari rumah sakit dan butuh perawatan karena kondisi fisiknya yang mulai menurun, kedatangan seorang calon klien. Leonard Vole (Power) dituduh telah membunuh Mrs French, seorang wanita tua yang tergila-gila padanya.

Leonard yang bertemu Mrs French secara 'kebetulan', kemudian sering mampir ke rumah wanita itu, meskipun dia sudah beristri. Awalnya, Leonard memang mengharapkan wanita itu memberinya sedikit uang untuk membiayai paten alat buatannya. Pada hari kejadian, wanita itu ditemukan tewas, dan Leonard menjadi tersangka utama. Satu-satunya alibi yang dimilikinya berasal dari kesaksian istrinya yang mengatakan bahwa dia tiba di rumah pada sekitar waktu kematian korban.


Awalnya kasus ini tidak terlihat terlalu sulit karena ketiadaan motif yang dimiliki Leonard. Situasi berubah ketika diketahui Mrs French meninggalkan warisan 80,000 pound pada Leonard. Motif pun mengarah padanya. Sir Wilfrid pun tertarik untuk menangani kasus ini, terlepas dari protes perawatnya yang memintanya untuk beristirahat. Leonard berada dalam posisi sulit karena kesaksian dari seorang istri tidak akan diperhitungkan.

Istri Leonard, Christine Vole (Dietrich) kemudian mendatangi Sir Wilfrid secara terpisah. Sir Wilfrid terkesan dengan sikap Christine yang tenang dan dingin, yang memberitahunya kalau dia sebenarnya masih memiliki suami sewaktu Leonard menikahinya. Mereka bertemu di Jerman sewaktu Leonard masih bertugas sebagai tentara. Dia menikahi Christine dan membawanya ke Amerika, memberinya kewarganegaraan baru. Leonard tidak mengetahui kalau Christine masih berstatus istri dari orang lain.

Pada sidang pengadilan Leonard Vale, Sir Wilfrid berhasil menyanggah bukti-bukti yang berasal dari keterangan saksi dari pihak penuntut, yang berasal dari polisi dan pembantu Mrs French. Yang mengejutkannya adalah, istri Vole, Christine, dipanggil sebagai saksi, dengan menyebutkan bahwa dia bukan istri Leonard karena masih terikat dengan pernikahannya yang dulu. Tidak terhitung sebagai istri, Christine dipersilahkan untuk bersaksi.


Yang lebih mengejutkan adalah, Christine memberikan kesaksian yang memberatkan Leonard, yang menjelaskan bahwa Leonard tiba di rumah bukan pada waktu kematian korban, tapi sesudahnya, dan bahwa Leonard mengatakan "I've killed her." Kesaksian yang bertolak belakang dari yang sebelumnya diberikannya ini membuat Sir Wilfrid dan Leonard bingung. Ketika Leonard berdiri sebagai saksi, pihak penuntut menyerangnya habis-habisan dan situasi menjadi tidak menguntungkan baginya.

Di sela-sela hari persidangan, Sir Wilfrid mendapat telpon dari seorang wanita, yang memintanya bertemu untuk memberikan bukti-bukti mengenai Christine. Setelah membayar sejumlah uang, SIr Wilfrid pun mendapat beberapa surat yang ditulis Christine untuk selingkuhannya yang bernama Max, yang menyebutkan kalau dia akan memberikan kesaksian palsu supaya Leonard dihukum mati dan uang 80 rb pound itu jatuh ke tangannya.

Di persidangan keesokan harinya, Sir Wilfrid membeberkan surat-surat itu, meruntuhkan kesaksian Christine, dan dengannya menyebabkan alibi Leonard menjadi sah. Leonard pun diputuskan bebas. Sir Wilfrid merasa tidak puas karena ada sesuatu yang menurutnya janggal.

Dan betullah. Christine pun mengakui, kalau dia merancang sandiwara untuk memberi kesaksian palsu dan surat-surat itu, supaya Leonard tidak terbukti bersalah. Dia dan Leonard dengan tenangnya mengakui kalau memang Leonard-lah yang membunuh Mrs French, dan karenanya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan untuk kasus yang sama. Ketika Sir Wilfrid bertanya, kenapa Christine rela mesti terkena kasus perjuri (karena memberikan kesaksian palsu) demi Leonard yang bersalah, dia menjawab dengan sederhana, karena dia mencintainya.


Situasi pun kelihatan memihak Leonard, hingga kemudian seorang wanita datang dan merangkulnya. Selingkuhan yang lain. Kesal karena ternyata cuma dimanfaatkan, dan hendak ditinggalkan demi wanita lain, Christine dengan dingin menikam Leonard hingga mati.

Sir Wilfrid dan lainnya ikut menyaksikan, dan menganggap bahwa Leonard pantas menerimanya. Sir Wilfrid, yang tadinya berencana untuk berlibur ke Bermuda, membatalkan rencananya, untuk menangani kasus Christine, sebagai pembelanya.

Komentar:

Wow. Dari jalannya cerita persidangan, lalu dari saksi satu ke saksi lainnya, benar-benar seru dan menegangkan, apalagi ketika tiap kali twist muncul dan mematahkan kesaksian yang diberikan.

Yang tak kalah penting adalah karakternya. Sir Wilfrid di awal-awal memberikan beberapa kalimat yang cerdas, dan bersama dengan perawatnya, menghasilkan beberapa scene yang menghibur. Beberapa kali Sir Wilfrid curi2 kesempatan untuk mengisap cerutunya dan meminum brandy.

Yang mungkin mengejutkan mungkin fakta bahwa Leonard ternyata memang bersalah. Dia benar-benar aktor yang hebat, sampai-sampai berhasil mengelabui mata Sir Wilfrid. Tapi memang jika kita mengikuti ceritanya, mungkin akan terbersit pertanyaan: jika Leonard tidak bersalah, lalu siapa pelakunya?

Kemudian bintang dari film ini adalah Marlene Dietrich yang menjadi Christine, si istri yang demi suaminya, rela memberikan kesaksian palsu dan mesti menjalani sidang perjuri karenanya. Christine sampai menyamar menjadi wanita buruk rupa dan mengarang surat-surat itu, agar rencananya berhasil.

Yang juga menarik dari film ini, karena merupakan adaptasi dari karya Agatha Christie. Bukan novel sih, tapi stage drama. Tapi tetep aja menarik untuk ditonton, karena film ini jadi salah satu dari sedikit karya Agatha Christie yang berhasil difilmkan.
myRating: 9.

Monday, February 06, 2012

Review Film: The Bridge on the River Kwai (1957)

 
Director: David Lean
Cast:
William Holden
Alec Guinness
Jack Hawkins
Sessue Hayakawa

Plot:

Film ini memiliki dua karakter utama, yaitu Colonel Nicholson (Guinness) dan Commander Shears (Holden). Shears yang sudah lebih dulu menjadi tawanan Jepang di sekitar Thailand, suatu hari mendapati Nicholson, dan puluhan anak buahnya menjadi tawanan baru di sana, sebagai akibat dari perintah dari atasan mereka untuk menyerahkan diri ke Jepang. Tak berapa lama, para tawanan Inggris itu pun merasakan perlakuan berat Colonel Saito (Hayakawa), yang mewajibkan semua tawanan, termasuk para officer (yg memiliki pangkat), untuk ikut serta membangun jembatan di atas sungai Kwai, yang nantinya akan dilalui kereta.



Nicholson pada awalnya menentang hal ini, karena menurut Konvensi Geneva, para officer tidak boleh dijadikan sebagai budak untuk melakukan pekerjaan berat. Saito mengabaikannya, dan menghukum Nicholson dan officer lainnya di tempat isolasi. Tanpa pimpinannya, pengerjaan jembatan oleh para tahanan berjalan tak terkendali dan amburadul, sehingga memaksa Saito untuk membujuk Nicholson untuk menerima tawarannya. Karena mereka berdua sama-sama keras kepala, butuh waktu sekitar sebulan hingga akhirnya Saito menyerah dan menyetujui syarat Nicholson bahwa para officer tidak ikut melakukan kerja berat.

Nicholson yang mengambil alih pengerjaan jembatan itu, dibantu oleh para officernya yang mengerti tentang struktur bangunan, dengan cepat membuat beberapa perubahan, dan hasilnya pengerjaan jembatan berjalan dengan lancar. Akan tetapi, anak buahnya mempertanyakan sikap Nicholson yang terlalu bersemangat untuk menyelesaikan jembatan itu tepat waktu, karena hal itu hanya akan membantu pihak musuh. Nicholson beralasan, bahwa mereka perlu melakukan ini, untuk menjaga moral agar tetap tinggi, dan untuk membuktikan pada pihak musuh, bahwa mereka bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik dari musuh.

Seiring pengerjaan jembatan yang berjalan baik, Nicholson pun semakin santai berada di sana, dengan Saito dan tentara2 Jepang lainnya pun melunak sikapnya. Jembatan pun selesai sebelum deadline, dan mereka sempat berpesta setelahnya.



Sementara itu, Shears, setelah berkali-kali menunda, akhirnya mencoba untuk kabur (kira2 bersamaan sewaktu Nicholson diisolasi). Meski tentara Jepang percaya kalau dia tenggelam, nyatanya Shears selamat, kemudian dengan bantuan penduduk lokal, berhasil tiba di markas tentara Inggris di Ceylon. Rencananya, Shears akan pulang ke Amerika.

Akan tetapi, rencananya gagal setelah Major Warden (Hawkins) memintanya untuk ikut serta dalam operasi commando untuk meledakkan jembatan di sungai Kwai. Selain karena Shears mengetahui medan, juga karena Warden dan atasannya di militer Amerika mengetahui kalau Shears memalsukan pangkatnya sebagai commander. Shears tak punya pilihan selain menyanggupi.

Jadilah Shears, Warden, dan satu orang lagi Joyce melaksanakan operasi ke sekitar sungai Kwai. Dalam sebuah konfrontasi dengan tentara Jepang, kaki Warden tertembak, dan menyulitkannya berjalan. Mereka pun tiba di lokasi, di jembatan yang sudah jadi, dan memasang posisi untuk meledakkan jembatan ketika kereta tiba keesokan harinya.



Sayangnya, rencana terancam karena air sungai surut, yang menyebabkan tali yang tersambung ke detonator bom terlihat. Nicholson yang sedang mengecek jembatan yang dibuatnya bersama tahanan Inggris yang lain, melihatnya. Dia mengajak Saito untuk memeriksa tali itu, hingga mereka mendekati tempat dimana Joyce bersembunyi.

Joyce bergerak dan menikam Saito. Nicholson berteriak meminta bantuan sambil berusaha mencegah Joyce meledakkan bom. Shears pun menyusul. Akhirnya Joyce dan Shears mati tertembak serangan tentara Jepang, sementara Nicholson mati akibat lemparan mortar Warden, dan jatuh menimpa detonator, meledakkan jembatan dan kereta pun anjlok.

Salah satu anak buah Nicholson yang menyaksikan insiden ini, hanya bisa menyesali dan berkata "Madness! Madness!"

Komentar:

Salah satu film perang yang luar biasa, yang menceritakan aspek lain tentang perang. Film ini kuat di penggambaran karakternya. Pertama, Colonel Saito, yang sangat keras dan membanggakan semangat Bushido-nya. Dia terus kukuh dengan sikapnya, tapi ketika disadarinya situasi tidak berjalan baik baginya, dia harus mengalah. Jika jembatan gagal dibangun tepat waktu, maka hukuman mati baginya. Karena itulah, dengan mencari alasan atas perayaan kemenangan Jepang atas Rusia, dia memberi Nicholson kelonggaran.

Nicholson sendiri yang paling konsisten dari awal hingga akhir. Dan yang mengagumkan sekaligus sulit dipercaya adalah, sikapnya yang bersemangat untuk menyelesaikan pembangunan jembatan itu sebaik mungkin. Meskipun pada aslinya jembatan itu untuk musuh, Nicholson tidak melakukannya demi mereka, melainkan untuk tentara Inggris itu sendiri. Mau tak mau gw harus salut dengan karakter ini, meskipun di situasi nyata, orang seperti dia tidak benar-benar ada.

Sementara Shears pada dasarnya adalah orang yang hanya ingin terbebas dari semua masalah ini, meskipun dengan begitu dia mesti kembali ke tempat tahanan di Thailand itu. Warden orang yang efektif dan taat pada peraturan dan misinya. Sewaktu kakinya terluka, dia berkeras agar Shears melanjutkan operasi tanpa dia.

Momen itu jadi salah satu yg berkesan. Shears, menolak perintah Warden, dan berargumen.
"I'm not gonna leave you here to die, Warden... because I don't care about your bridge, and I don't care about your rules. If we go on, we go on together."

Momen lainnya adalah di akhir film. Mendapati Joyce mati tertembak, Nicholson berkata "What have I done?' Sedangkan setelah jembatan hancur dan Nicholson mati, Warden beralan "I had to do it." Sedangkan reaksi anak buah Nicholson yang menyaksikan, "Madness." mengacu pada keras kepalanya masing-masing pihak yang menyebabkan tragedi itu.

IMO sih, sayang banget itu jembatan udah bagus2 pake diledakin segala, mending kalo mau nyerang sih, nyerang langsung ke tentara Jepangnya aja.
my Rating: 9.

Sunday, February 05, 2012

Review Film: Signs (2002)


Director: M. Night Shyamalan
Cast:
Mel Gibson
Joaquin Phoenix
Rory Culkin
Abigail Breslin

Plot:

Suatu pagi, Graham Hess (Gibson), mendapati ladangnya diutak atik, dan menghasilnya crop circle berbentuk lingkaran-lingkaran aneh dalam ukuran besar. Tadinya dia mengira ini adalah ulah orang iseng, tapi setelah berkonsultasi dengan polisi, dia tidak yakin apa penyebabnya.


Graham adalah bekas pendeta, yang setelah kematian istrinya akibat kecelakaan mengerikan, kehilangan keyakinannya dan berhenti jadi pendeta. Dia tinggal bersama kedua anaknya, Morgan (Culkin)  dan Bo (Breslin), serta adiknya Merrill (Phoenix). Mereka mendapati bersamaan dengan munculnya crop circle, perilaku anjing mereka menjadi liar, dan di suatu malam, ada penyusup yang berada di sekitar rumah mereka, kemudian kabur tanpa sempat terlihat sosoknya.

Setelah melihat berita bahwa kemunculan crop circle ini juga terjadi di daerah, bahkan di belahan dunia lain, mereka pun ikut yakin bahwa hal ini adalah pertanda akan kemunculan mahluk asing (extraterrestrial). Hal ini makin diperkuat dengan sinyal aneh yang ditangkap radio mereka, dan video kemunculan mahluk ET di Brazil. Pertanda bahwa alien akan melakukan invasi.


Dalam suatu percakapan dengan Merrill, Graham mengaku bahwa ada dua jenis manusia berdasarkan cara mereka menyikapi kejadian. Yg pertama, jenis yang percaya akan adanya keajaiban, dan bahwa pertolongan akan datang. Yg kedua, yang percaya bahwa apapun yg terjadi, mereka harus menghadapinya sendirian. Graham, yang sudah kehilangan keyakinannya, masuk ke grup yang kedua.

Graham kemudian mendapat telepon singkat dari Ray, orang yang menabrak istrinya  dalam kecelakaan maut itu. Graham mendatangi rumah Ray, yang sedang bersiap-siap untuk pergi dengan mobilnya. Selain meminta maaf atas kematian istrinya, Ray juga mengatakan bahwa dia akan pergi ke danau karena percaya mahluk ET itu takut air, dan bahwa di rumahnya ada satu mahluk yang terperangkap di dapur.

Graham pun memeriksanya, dan kaget dengan sikap tiba-tiba mahluk asing itu yang seakan hendak menyerangnya, memotong 2 jari mahluk itu dengan pisau. Graham bergegas pulang, dan setelah berunding dengan yang lainnya, memutuskan untuk bertahan di rumah dari mahluk asing. Mereka membentengi rumah dengan menutup semua pintu dan jendela dan memalangnya dengan kayu.

Mahluk2 itu tetap berusaha masuk, lewat loteng. Graham dan yang lainnya pindah ke basement dan bertahan di sana. Morgan sempat mengalami serangan asma, dimana Graham, dengan sekuat tenaga berhasil meredakannya. Di pagi harinya, mereka mendengar berita bahwa para alien sudah meninggalkan bumi, kemungkinan karena para penduduk bumi sudah menemukan cara untuk membasmi mereka. Sayangnya, masih ada satu mahluk di rumah itu.


Dia menyandera Morgan, dan menyemprotkan gas beracun padanya. Saat itulah, Graham teringat pesan terakhir istrinya sebelum mati: menyuruhnya untuk melihat (See) dan menyuruh Merrill untuk mengayunkan (swing away). Dan dia menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi pada keluarganya, semua dipersiapkan untuk saat ini, untuk menghadapi mahluk asing itu.

Graham melihat stik baseball di dekat Merrill, dan mengulangi pesan istrinya ke Merrill. Merrill segera menggunakannya untuk memukuli mahluk itu, hingga kemudian menyebabkan gelas-gelas di sekitar rumah menumpahkan air, yang ternyata merupakan kelemahan mahluk asing itu, dan membunuhnya.

Selain pesan kematian istrinya, kelakuan Bo yang sering menaruh gelas berisi air di sekitar rumah, dan Morgan yang menderita asma, ternyata memiiki alasan tertentu. Morgan selamat dari gas beracun itu, karena tak terhirup oleh paru-paru akibat asma yang dideritanya. Graham pun menemukan keyakinannya lagi, dan kembali menjadi pendeta.

Komentar:

Salah satu film yang menjadi ciri khas Shyamalan. Misteri dan kemunculan mahluk selain manusia. Meskipun dalam hal ini, keberadaan mahluk asingnya sudah cukup jelas diberitahu di awal-awal. Adapun crop circle yang ditampilkan itu ide yang bagus, membuat penonton tertarik.

Tapi buat gw bukan aspek mahluk asingnya yang paling menarik, melainkan bagaimana Graham harus membawa keluarganya melalui masa-masa sulit, terutama setelah kematian istrinya, dan hilangnya keyakinannya. Tema keluarga menjadi bagian penting dari film ini. Graham yang sedang bimbang banyak terbantu oleh adiknya, Merrill dan Morgan yang cerdas.

Tema lainnya yang juga menarik dari Shyamalan adalah segala hal yang menjadi jelas di akhir, bahwa segala sesuatu ada tujuannya. Seperti twist yang juga dilakukannya di The Sixth Sense dan Unbreakable.

Kalau ada yang mengurangi kenikmatan gw menonton, mungkin karena udah terlebih dulu nonton Scary Movie ke-3 atau 4, yg ada parodi tentang film Signs ini. Dan seperti biasa, Shyamalan ikut mejeng di film ini, sebagai Ray si pengendara mobil yg nabrak istrinya Graham.

my Rating: 8.

Friday, February 03, 2012

ungu ft andien - saat bahagia

saat bahagiaku duduk berdua denganmu
hanyalah bersamamu hmmm
mungkin aku terlanjur
tak sanggup jauh dari dirimu
ku ingin engkau selalu


tuk jadi milikku
ku ingin engkau mampu
ku ingin engkau selalu bisa
temani diriku sampai akhir hayatmu
meskipun itu hanya terucap
dari mulutmu oooh dari dirimu
yang terlanjur mampu bahagiakan aku
hingga ujung waktuku selalu

seribu jalan pun ku nanti
bila berdua dengan dirimu melangkah bersamamu
ku yakin tak ada satu pun
yang mampu merubah rasaku untukmu
ku ingin engkau selalu


tuk jadi milikku
ku ingin engkau mampu
ku ingin engkau selalu bisa
temani diriku sampai akhir hayatmu
meskipun itu hanya terucap
dari mulutmu oooh dari dirimu
yang terlanjur mampu bahagiakan aku
hingga ujung waktuku selalu

mungkin aku terlanjur
tak sanggup jauh dari dirimu
ku ingin engkau selalu


tuk jadi milikku
ku ingin engkau mampu
ku ingin engkau selalu bisa
temani diriku sampai akhir hayatmu
meskipun itu hanya terucap
dari mulutmu oooh dari dirimu
yang terlanjur mampu bahagiakan aku
hingga ujung waktuku selalu


====================
lagu asik yg bakal jadi pilihan gw kalo karaoke, apalagi kalo nyanyinya duet :p

Review Film: M (1931)



Director: Fritz Lang
Cast:
Peter Lorre
Otto Wernicke
Gustaf Gründgens

Plot:

Anak-anak kecil menghilang dan dibunuh. Kasus serial killer ini membuat seisi kota waswas. Akibatnya polisi meningkatkan pengawasannya. Setiap orang menjadi paranoid, dan serba mencurigai tiap kali ada orang yang mendekati anak-anak. Yang juga jadi korban dari situasi ini adalah kalangan mafia (pencuri dsb) yang operasi mereka terhambat karena polisi jadi makin sering patroli.


Menyikapi hal ini, pimpinan mafia setempat, Safecracker (Grundgens) mengadakan rapat dengan anak buahnya, untuk mencari cara untuk menemukan child murderer ini, supaya usaha mereka bisa kembali berjalan normal. Di lain tempat, kepolisian juga memikirkan hal ini, di bawah kendali Inspektur Lohmann (Wernicke).

Orang2 mafia kemudian memutuskan untuk menggunakan sindikat pengemis, untuk memata-matai seisi kota, karena keberadaan mereka yg tidak diperhatikan orang2. Cara ini terbukti berhasil. Seorang pengemis buta yg juga penjual balon, mengenali siulan khas si pembunuh (Lorre), yg juga dia dengar sewaktu korban terakhir menghilang. Segera dia memberitahu ini pada rekan2nya yg lain.

Ketika Beckert, si pembunuh, menyadari bahwa dia dibuntuti, dia panik, dan membatalkan rencananya untuk menculik seorang anak. Untuk menandai si pembunuh, seorang pengemis menuliskan huruf M di tangannya dengan kapur, kemudian secara sengaja menepuk pundak jaket Beckert dengan alasan dia buang kulit jeruk sembarangan. Alhasil, di pundak Beckert, terdapat tanda M yang membuatnya dikenali oleh sindikat mafia.


Mereka terus mengikuti Beckert, hingga dia bersembunyi di sebuah gedung yang dikunci. Para pengemis melapor ke Safecracker, dan mereka pun mendatangkan armada untuk mencari si pembunuh ke seluruh pelosok gedung. Di saat bersamaan, polisi pun sudah menemukan petunjuk yg sama ke arah Beckert sebagai pelakunya.

Orang2 mafia pun berhasil menemukan Beckert, dan membawanya pergi ke markas mereka. Tapi karena polisi segera datang ke lokasi karena petugas gedung yang mereka sekap menyalakan alarm, mereka buru2 pergi, dan lupa dengan salah satu rekan mereka yg masih tertinggal di sana, yang akhirnya tertangkap polisi.

Franz, anggota yang tertangkap itu, kemudian diinterogasi oleh Lohmann, yang berhasil membuatnya buka mulut tentang pencarian si pembunuh, dan apa yang kalangan mafia hendak lakukan padanya.

Mereka menggelar semacam pengadilan untuk pembunuh itu. Para mafia itu berpendapat bahwa orang seperti Beckert terlalu berbahaya, dan tak bisa dimaafkan karena telah membunuh anak2. Meski begitu, Beckert berdalih, dan memberikan semacam pernyataan yang dramatis, bahwa dia tak bisa mencegah dirinya. Keinginan membunuh dalam dirinya merupakan penyakit yang tak bisa disembuhkannya. Seorang pengacara yg membelanya pun membenarkan, bahwa dia mesti dirawat di institusi kejiwaan.


Kalangan mafia, dan juga para orangtua yg menjadi korban, yg jadi bagian dari pengadilan itu, tak setuju. Mereka tetap berkeras untuk mengeksekusi si pembunuh. Tapi sebelum hal itu terjadi, polisi keburu datang. Gagallah rencana mereka. Film ini berakhir ambigu, dengan pengadilan yang sebenarnya, hendak membacakan vonis untuk Beckert, belum diketahui apakah dia akan dihukum ato dirawat kejiwaan. Di akhir film, ada peringatan dari seorang ibu korban, yang mengingatkan penonton bahwa apapun vonisnya, para korban tidak akan kembali, dan orangtua mesti memperhatikan anaknya baik-baik.

Komentar:

Wow. Meskipun sedikit kecewa karena di awal genre serial killernya berubah jadi chasing si pembunuh ini, tetep seru. Dan kita jadi dibikin jadi dukung para mafia dan pengemis untuk menangkap si pembunuh. Polisi? Beh. Nyatanya orang2 mafialah yang berhasil menemukan si pembunuh lebih dulu.

Sementara kesan pembunuh yang di awal begitu menyeramkan dan misterius, yg ditandai hanya dengan bayangannya, dan siulan khas itu, begitu dia tertangkap, hilang sudah kesan mengerikan itu. Beckert terlihat pathetic, menyedihkan setelah dia tertangkap. Tapi memang dia sendiri yang bilang, kalo itu memang penyakit yang dideritanya.

Kemudian di akhir film, penonton akan terbagi menjadi dua kubu, yaitu yang setuju kalau Beckert dihukum mati, ato dirawat dengan alasan tidak waras. Jujur, gw lebih pilih ke kubu hukuman mati. Gila atau tidak, dia sudah membunuh beberapa orang, anak kecil malah. Dan terlampau berbahaya. Seperti yang dikatakan orang2 mafia, siapa yg bisa menjamin kalau dia dirawat dia ga akan kabur dan mengulangi perbuatannya?

my Rating: 9.