"Wayne?" dia memanggilku.
"Kenapa?" sahutku.
"Masa penelitianku selesai hari ini. Mulai besok aku tidak perlu lagi pergi ke Vonn City."
Maksud yang ingin diungkapkannya sudah jelas. Mulai besok dia tidak akan muncul lagi di stasiun ini.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Well, kuharap tugas akhirmu bisa segera tuntas."
"Ya, kuharap begitu."
Kereta yang dinantinya pun tiba. Tiba waktunya kami berpisah. Tanpa kuduga, dia maju dan memelukku dengan erat. Kurasa aku tidak punya pilihan selain balik merangkulnya.
"Goodbye"
Dia tersenyum dan masuk ke dalam gerbong kereta yang tak lama lagi akan pergi, dan melambaikan tangannya.
Pintu gerbong menutup, dan dalam beberapa detik kereta itu pun menghilang dari pandangan. Itulah kali terakhir aku melihatnya.
*
Aku melihatnya sore itu, duduk sendirian menunggu di bangku stasiun yang dingin karena hujan. Rambutnya yang cokelat dibiarkan terurai hingga ke punggungnya. Dia menggenggam erat lengan sweaternya agar tak kedinginan. Ketika aku menghampirinya lebih dekat, dapat kulihat ekspresi wajahnya yang sedikit cemas.
“Hai, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.
Dia menoleh ke arahku, terdiam sejenak, dan sambil tersenyum kecil menjawab, 'Aku sedang menunggu kereta ke St Marymead.”
Ah, iya. Tentu saja. Stasiun kecil yang letaknya di daerah antah berantah ini memang jarang sekali disinggahi penumpang. Tidak ada yang menjadikan stasiun ini sebagai stasiun tujuannya. Satu-satunya alasan mereka berada di sini adalah untuk berpindah dari kereta yang satu ke kereta dengan tujuan lain, seperti yang dilakukan gadis ini.
“Kau baru pertama kali ke stasiun ini ya?”
Dia mengangguk. “Memangnya kenapa?”
“Kereta ke St Marymead baru akan tiba satu jam setelah kereta Rathampton, dan bukan di jalur ini, tapi di jalur seberang sana.”
Dia membuka mulutnya dan menunjukkan rasa kekecewaannya. “Aaaah, pantas saja. Kurasa tadi aku melihat satu kereta lewat begitu saja.”
Dia pun berdiri, untuk berpindah ke jalur seberang. Sebelum pergi, dia tersenyum kembali padaku.
“Thank you.”
Aku terus memperhatikannya, hingga akhirnya keretanya tiba, dan membawanya pergi.
Dia mengingatkanku akan seseorang.
*
Keesokan harinya, dan seterusnya, hingga tiga minggu kemudian, kembali aku mendapati gadis itu di sini. Turun dari kereta yang satu, dan menunggu kereta lainnya yang akan membawanya pulang. Hmph, pulang. Kata yang tidak terlalu bermakna untukku, mengingat sudah berapa lama aku berada di stasiun ini tanpa pernah meninggalkannya.
Sewaktu aku menghampirinya, dia mengenaliku sebagai petugas stasiun yang kemarin menyapanya. Aku pun duduk di sampingnya, dan menemaninya menunggu hingga keretanya tiba.
Namanya Lynn. Mahasiswi tingkat akhir. Setiap harinya, dia pergi ke Vonn City untuk mengumpulkan data. Dia berangkat di pagi hari menumpang mobil tetangganya yang juga bekerja di sana. Karena tetangganya itu belum pulang hingga larut malam, dia mesti pulang sendiri, menggunakan kereta. Tidak ada rute langsung dari Vonn City ke St Marymead. Jadi dia naik kereta Vonn City-Rathampton, turun di stasiun ini, dan menunggu kereta tujuan St Marymead.
Itulah yang diceritakannya padaku pada pertemuan kami di hari itu.
"Bagaimana denganmu, siapa namamu?"
Aku memperkenalkan diriku padanya sebagai Wayne, dan bahwa aku sudah bertugas di stasiun ini selama 3 tahun, tanpa sekalipun meninggalkan tempat ini.
“Betulkah? Kenapa?”
Karena aku terperangkap di tempat ini, dan tidak bisa meninggalkannya. Itu yang sebenarnya ingin kukatakan.
"Aku nyaman tinggal di tempat ini. Semua sudah tersedia dan bisa kudapatkan tanpa perlu pergi ke mana-mana."
Dalam satu hal, pernyataan itu memang ada benarnya. Stasiun ini menyediakan beberapa kamar tidur, dimana aku adalah satu-satunya orang yang menempatinya. Pada kenyataannya, hanya aku saja petugas yang ditempatkan di stasiun ini. Mungkin karena aktivitasnya yang terlampau minim. Tugasku pun tak terlalu banyak, hanya sekedar mengawasi atau membantu penumpang seperti Lynn jika mereka kebingungan. Hampir semua fungsi stasiun ini sudah terprogram dengan rapi.
Kebutuhan-kebutuhan lainnya pun sudah disediakan dengan cukup. Bahan-bahan makanan dikirim secara berkala, dimana biasanya aku memasak sendiri makananku. Jika sedang tidak mood, aku bisa memesan makanan yang kemudian akan diantar ke stasiun ini. Hal yang sama juga berlaku untuk surat kabar atau barang-barang yang ingin kubeli. Semuanya bisa dipesan dan diantarkan.
Buku-buku di ruang baca stasiun ini juga cukup banyak, hampir semuanya sudah selesai kubaca, dan terus bertambah karena aku juga memesan buku-buku baru. TV dan koneksi internet pun tersedia. Seperti yang kubilang tadi, semua sudah tersedia di sini. Kenapa aku mesti pergi?
Seperti itulah yang kuceritakan pada Lynn.
Yang tidak kuceritakan padanya adalah bahwa nyatanya aku memang terperangkap di tempat ini. Syarat yang harus kupatuhi kalau aku ingin tetap hidup dalam wujud ini untuk waktu yang tak terbatas.
*
"Tidakkah kau kesepian?"
Pertanyaannya membuatku terdiam. Apakah aku merasa kesepian? Sudah tiga tahun sejak aku dibangkitkan, dan interaksi yang kulakukan terbatas pada penumpang yang mampir sejenak, yang jumlahnya sedikit, lalu para pengantar barang dan makanan pesanan. Sisanya melalui telpon atau internet. Jadi apakah aku kesepian? Anehnya tidak.
"Tidak juga," jawabku.
Aku tidak tahu seperti apa rasanya kesepian itu. Atau mungkin tepatnya sudah lupa. Puluhan tahun telah berlalu sejak aku dinyatakan mati, jadi apapun yang kuingat dan kurasakan saat itu sudah lama terhapus dari ingatanku. Mungkin hanya beberapa bagian kecil saja yang tersisa.
Seperti ingatan tentang seseorang yang pernah kucintai di masa lampau. Dia yang kembali muncul di benakku sewaktu aku pertama kali melihat Lynn. Mereka begitu mirip. Elsa.
*
Lynn adalah satu-satunya teman yang kupunya. Setiap sorenya, selama sejam aku menemaninya menunggu kereta yang mengantarnya pulang. Kami menghabiskan waktu dengan membicarakan berbagai hal. Ketika sudah bosan membicarakan diri kami masing-masing, kami membicarakan hal-hal yang terjadi di luar sana. Untungnya aku masih mengikuti perkembangan berita, sehingga masih bisa mengikuti obrolannya.
Terkadang aku membawakannya teh atau kopi hangat untuk kami minum bersama. Atau makanan kecil lainnya seperti biskuit. Terkadang dia yang berbagi makanan yang dibawanya denganku. Pernah juga dia menyantap masakan buatanku.
Pernah juga aku hanya duduk menemaninya dalam diam, karena dia sedang murung dan tak ingin bicara apa-apa. Tentu saja aku lebih suka melihatnya dalam keadaan ceria, seperti biasanya.
Pernah aku bertanya padanya, kenapa dia mudah saja bicara dengan orang asing sepertiku.
"Kau tidak terlihat seperti orang jahat. Lagipula, aku cukup mahir dalam wushu. Aku yakin bisa menjaga diri dengan baik."
Ha, satu hal lagi yang mengagumkan tentangnya.
*
Kereta itu sudah lama pergi, tapi aku masih memandangi arahnya menghilang. Lynn. Kurasa, kau sudah membuatku mengenal apa arti kesepian itu.
Kesepian muncul seiring dengan adanya kerinduan. Rindu akan sesuatu, seseorang, membuat kita merasa sepi karena tak bisa bertemu dengannya. Rindu itu akan terobati, sewaktu kita bertemu, tapi hanya untuk sesaat. Sesudahnya kita akan kembali merindu, kembali merasa sepi, hingga keesokan harinya rindu itu terobati sedikit, dan seterusnya, terus berulang. Hingga dia benar-benar pergi.
Keesokan harinya, aku duduk di tempat biasanya kami menunggu bersama. Tentu saja kali ini dia tidak ada, karena memang dia tidak akan kembali lagi. Aku hanya duduk di sana seharian, hingga malam tiba, hingga keesokan harinya, tanpa tidur.
*
Kuambil gagang telepon dan kutekan sederetan angka dari sebuah nomor yang tertera di dinding ruangan kantor stasiun.
"Pak, saya ingin berhenti. Saya ingin pergi dari tempat ini."
Tidak ada jawaban. Aku tetap menunggu. Tiga menit kemudian, lambat laun sebuah suara menjawab.
"Wayne, perlukah kuingatkan, begitu kau meninggalkan tempat ini, kebangkitanmu akan menjadi sia-sia?"
"Saya tahu betul tentang hal itu."
"Kau hanya akan mampu bertahan hidup selama sebulan, dan sesudahnya kau akan kembali pada kematian. Ketika itu terjadi, aku tidak akan membangkitkanmu untuk yang kedua kalinya."
Aku tidak peduli. Hidup selamanya pun tak ada artinya jika terus terperangkap di tempat ini, sementara aku ingin bertemu lagi dengan Lynn. Aku harus menyusulnya.
*
Keesokan paginya, sewaktu kereta menuju St Marymead tiba, dengan pasti aku melangkah masuk ke dalamnya.
Meninggalkan tempat ini, meninggalkan segala kesepian ini. Bukan hanya untuk mengobati rindu, tapi sekaligus untuk membebaskan diri dari penjara ini.
Lynn, aku segera ke sana.
Kereta mulai bergerak, membawaku menuju kebebasan yang terbentang luas, sekaligus dunia luar yang asing bagiku.
No comments:
Post a Comment