Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Wednesday, September 11, 2013

Jangan Panggil Saya ‘Pak’

Sudah jam 11 malam, hujan masih turun dengan deras di luar, dan Armand masih terjaga, memeriksa satu persatu lembar ulangan murid-muridnya. Dia sudah menghabiskan kopinya sejak dua jam yang lalu, tapi rasa kantuk lambat laun mulai merasukinya. Tak mengapa, dia sudah terbiasa tertidur di meja kerjanya.

Dering ponsel di atas meja membuatnya kembali terjaga. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layarnya. Dengan ragu Armand mengangkatnya.

“Halo?”

“Pak Armand?” suara seorang wanita samar-samar terdengar.

“Iya, ini siapa ya?”

“Shireen, Pak. Saya di bawah. Bapak bisa turun sebentar?”

Sambungan telpon terputus. Armand yang masih setengah sadar berusaha memproses semua informasi ini. Shireen? Oh, Shireen dari kelas 3 IPA 3, salah satu muridnya di sekolah. Beberapa orang muridnya memang pernah menjenguknya sewaktu dia sakit, Shireen salah satunya. Tapi kenapa dia ada di sini malam-malam?

Kemudian dia teringat kalau saat itu masih hujan, dan Shireen bilang dia ada di bawah, berarti di depan rumah susun tempatnya tinggal. Ya ampun, dia pasti kehujanan.

Armand bergegas keluar dari flatnya yang berada di lantai 3 dan menuju ke lantai dasar, lalu membuka pintu depan. Shireen sedang bersandar di salah satu pilar, memeluk dirinya sendiri yang menggigil kedinginan. Seragam putih abu-abunya basah kuyup.

Armand langsung melepas jaketnya dan memakaikannya pada Shireen, lalu dia meraih bahunya dan menuntunnya ke flatnya. Tidak ada waktu untuk ragu-ragu mengambil keputusan. Anak ini bisa sakit kalau dibiarkan kedinginan di luar.

Hampir tengah malam, dan kelihatannya para penghuni rusun lain sudah terlelap. Entahlah, mungkin lebih baik begitu, ketimbang dia harus repot menjelaskan tentang keadaan Shireen, karena dia sendiri pun tidak tahu kenapa gadis ini datang ke rumahnya selarut itu.

Setibanya di flat miliknya, Armand segera menutup pintu, membantu Shireen melepas sepatu, lalu membawanya duduk di sofa. Dia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air, dan memberikannya pada gadis itu. Shireen meminumnya dalam sekali teguk.

Armand duduk di sampingnya, menunggunya bicara, tapi gadis itu hanya diam saja. Armand memandangi wajah Shireen, mencoba mengorek ingatannya tentang muridnya itu. Shireen termasuk anak yang cukup cerdas. Nilai ulangan matematikanya yang terakhir, yang baru saja dia periksa, 90. Dia aktif dalam pelajaran, sering mengajukan diri untuk menjawab pertanyaan. Dia selalu tersenyum ketika berhasil menjawab pertanyaan. Manis sekali. Dan dia cantik...

Bayangan Shireen yang menggigil di depan rumah susun beberapa menit yang lalu melintas. Pakaiannya yang basah melekat pada tubuhnya yang ramping, memperlihatkan warna kulit tubuhnya dan pakaian dalamnya...

Stop! Armand menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran aneh tadi. Shireen masih diam, wajahnya menunduk, tangannya memeluk erat-erat jaket Armand yang dikenakannya. Armand baru menyadari bau alkohol dari wajah Shireen.

“Shireen? Hei, ada masalah apa?” tanya Armand.

Shireen tak menjawab. Armand hanya bisa menduga-duga. Gadis ini keluyuran hingga tengah malam, mabuk, dan bukannya pulang ke rumahnya, malah mendatangi rumah gurunya. Mungkin masalah dengan pacarnya, atau dengan orangtuanya, atau keduanya, atau masalah-masalah lain yang tak dia ketahui.

Akhirnya Armand bertanya lagi, “Shireen, kenapa kamu datang ke sini? Orangtuamu nanti kuatir lho kalo kamu ga pulang.”

Shireen menggeleng lemah, dan akhirnya bicara.

“Pak Armand pernah bilang, kalau kami ada kesulitan, kami bisa datang ke Bapak.”

Armand tak mampu berkata apa-apa. Sewaktu dia mengatakan itu ke murid-muridnya, yang dia maksud adalah kesulitan dalam hal pelajaran, jika ada soal-soal yang tak mereka mengerti. Armand menghela napas.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Saya mau tidur saja, Pak. Capek.”

Armand mengangguk. Dia membantu Shireen berdiri dan menuntunnya ke dalam kamarnya. Dia mendudukkan Shireen di atas tempat tidur, dan melepas jaket yang dikenakannya. Pakaian Shireen masih basah, dan membuat kulit tubuhnya terekspos. Buru-buru Armand mengalihkan pandangannya, dan menghampiri lemari bajunya.

“Kamu tidur di sini aja, saya di sofa depan. Kita bicara lagi besok pagi. Tapi kamu ganti baju dulu ya, soalnya baju kamu basah, nanti kamu sakit. Pake salah satu kaos-”

“Pak Armand?” sahut Shireen memutus ocehan Armand.

Armand menoleh, dan tanpa diduganya, Shireen melompat ke arahnya, menubruknya hingga terdesak ke lemari. Tangannya memeluk leher Armand, wajahnya mendekat, dan bibirnya menubruk bibir Armand. Gadis itu menciumnya dengan beringas.

 “Saya... saya jatuh cinta dengan Pak Armand,” ucapnya, sebelum kembali mencium mulut gurunya itu.

Armand tak bisa berpikir jernih. Otaknya serasa jungkir balik. Bagaimana ini? Shireen adalah muridnya dan dia adalah gurunya. Semua ini salah, pikirnya.

Tapi...

Dia hanyalah seorang guru muda berusia 25 tahun yang belum genap setahun mengajar di sekolah Shireen, dan Shireen adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang sangat menarik. Dia laki-laki, dan Shireen perempuan.

Armand menyerah. Dia membalas ciuman Shireen. Lidah mereka bertemu. Armand meraih tubuh Shireen, merasakan kulit tubuhnya di balik pakaian seragamnya yang basah, dan membaringkannya di atas ranjang. Dia mulai membuka kancing baju Shireen, satu persatu.

...

Setengah jam kemudian.

Shireen menyandarkan kepalanya pada dada Armand. Tubuh mereka yang basah oleh keringat saling bersentuhan tanpa penghalang apa pun. Pakaian Armand, seragam Shireen, dan pakaian dalam mereka berserakan di sekitar ranjang yang mereka tiduri bersama.

“Pak Armand...” sahut Shireen dengan lirih.

“Ssst... Jangan panggil saya ‘Pak’. Saat ini saya bukan guru kamu,” ujar Armand sambil membelai rambut Shireen. Dia menengadahkan wajah Shireen, dan mencium dahi gadis itu.

“Saat ini aku adalah kekasihmu.”


-OoO-

No comments:

Post a Comment