Selepas magrib, dengan tergesa-gesa aku melompati anak tangga di stasiun Gambir ini. Bukan untuk mengejar kereta, meskipun dalam lima menit akan segera muncul kereta ke arah Bogor. Bukan. Fatma memintaku untuk bertemu, ingin melaporkan sesuatu katanya.
Aku berusaha melepaskan diri dari kerumunan orang-orang yang sedang menunggu di peron, dan menuju bagian di ujung selatan, di bagian yang tak beratap yang biasanya digunakan oleh penumpang wanita, atau juga oleh para perokok yang ingin memenuhi kebutuhan paru-paru mereka akan nikotin. Tidak banyak orang yang berada di sana malam ini.
Disana Fatma sedang berdiri, bersandar pada pagar pembatas, entah sedang menatap Monas atau jalan yang penuh dengan warna-warni lampu kendaraan. Sudah dua bulan sejak terakhir kita bertemu, dia masih tampak mengagumkan seperti biasanya, dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai, dan coat hitamnya. Hanya mungkin ekspresi wajahnya saja yang terlihat murung.
"Hai," sapaku.
"Hai, Don. Thank you, for coming."
Senyumnya masih terlihat mempesona, meskipun di balik senyuman yang lemah itu tercermin kesedihan pemiliknya.
"Jadi, ada masalah apa?"
Fatma menarik napasnya, mengumpulkan kekuatan untuk mulai bercerita.
"Kamu tau ga, udah seminggu ini aku putus sama Ilham?"
Oh, jadi ternyata benar ya.
"Enggak. Tapi aku udah denger rumor tentang itu sih."
Sengaja aku tidak menanyakan lebih lanjut. Dia tidak suka diberondong pertanyaan. Aku hanya menunggu, karena nanti juga dia akan bercerita sendiri.
"Dia dipindahin ke luar negeri. Saat ini sih ke Singapur, tapi nanti dia bakal sering berpindah-pindah tempat, bisa di Asia, ke Eropa atau kemanapun. Nomaden."
Wait, what is he again? A spy?
"Dia bilang mungkin akan sulit buat kita kalau dia ga pernah menetap di suatu tempat. Dia juga ga mau aku ikut dia, karena mungkin bisa berbahaya, buatku."
Must be a spy.
"Aku juga ga bisa membantah. Yang dikatakannya benar. Aku ga bisa ngelepasin kehidupanku disini begitu aja."
Kuperhatikan air mata mulai mengembang di ujung matanya.
"Sudah seminggu lebih, dan aku belum bisa bangkit, Don. Mestinya aku bisa ngelupain dia segera, nyari sifat buruknya yang bisa kubenci, biar semua perasaan ini cepat reda, tapi ga berhasil."
Ketika dia mulai menangis, segera kuraih punggungnya untuk merangkulnya, membiarkan dia menumpahkan kesedihannya hingga habis semua. Dia tidak suka menunjukkan kelemahannya ke orang lain, aku tahu itu.
Beberapa menit berlalu, dua kereta melintas dalam periode itu, dan Fatma pun melepaskan pelukanku. Matanya masih basah seusai menangis tadi.
"Biasanya aku ga pernah punya masalah dengan yang lainnya sewaktu putus. Selalu ada kejelekan mereka yang bisa kujadikan contoh, dan kuingat dalam-dalam supaya aku membenci mereka, dan setelahnya semua beres tak bersisa. Tapi yang ini lain, Ilham berbeda. Kami sudah punya rencana di kemudian hari. Aku punya rencana. Ga gampang untuk ngebuang semua rencana itu ke tempat sampah."
Aku menatapnya lekat-lekat.
"Kenapa mesti membenci dia?" tanyaku sambil tersenyum.
"Supaya aku bisa ngelupain dia."
"Tapi kenapa mesti ngelupain dia?"
Dia tidak menjawab, dan balik memandangku dengan heran. Meminta penjelasan lebih lanjut dariku.
"Kalo emang ga ada yang bisa dibenci dari dia, kenapa mesti dicari-cari kejelekannya? Dan kalopun ada, kenapa kamu mesti benci dia? Mungkin kamu ga perlu membencinya."
"Then, how do I get over him?"
"Biarin aja. Biarkan semuanya mengalir. Kalo kamu masih cinta banget sama dia, biarin aja perasaan itu tetap ada. Mungkin juga kamu bisa menghasilkan sesuatu dari itu, bikin buku atau apa kek. Lalu, ga usah ditungguin, nanti kalo emang sudah waktunya, mereka juga bakal ilang sendiri kok. Mungkin ga bener-bener ilang seluruhnya, tapi cukup buat kamu untuk bisa ngelanjutin hidup kamu yang luar biasa itu."
Perlahan senyumnya mengembang, dan dia tertawa.
"Kamu ini ya, kok sekarang pinter ngomong sih?"
"Hasil dari pengalaman, dan observasi perilaku orang-orang. Kira-kira begitu."
"So, basically, I don't have to do anything to forget him?"
"Right. Semakin kamu ingin melupakan dia, malah semakin sulit untuk melupakan dia. Natural aja. Tau gak, waktu dulu kamu nolak aku, aku juga ga benci kamu abis itu. I mean, I tried, but I just can't."
"Oh ya? Jadi kamu dulu sempet benci sama aku?" tanyanya sambil tertawa.
"Kamu dengerin aku ngomong ga sih? Hih."
Jatuh cinta, patah hati, kemudian menunggu untuk jatuh cinta lagi. Mungkin patah hati lagi, mungkin juga tidak. Seperti itu kan urutannya?
Suara pengumuman dari pihak stasiun menyebutkan kereta tujuan Bogor berikutnya akan tiba. Kuperhatikan wajah Fatma yang sudah tampak segar dan bersemangat, berbeda sewaktu tadi aku pertama melihatnya.
"Udah oke kan? Naik kereta yang ini?"
Dia mengangguk. Di balik senyumannya, dia mengucapkan terimakasih tanpa suara.
~
Bantu aku membencimu
Ku terlalu mencintaimu
Dirimu begitu berarti untukku
Inspired by La Luna - Selepas Kau Pergi.
untuk #30HariLagukuBercerita
Aku berusaha melepaskan diri dari kerumunan orang-orang yang sedang menunggu di peron, dan menuju bagian di ujung selatan, di bagian yang tak beratap yang biasanya digunakan oleh penumpang wanita, atau juga oleh para perokok yang ingin memenuhi kebutuhan paru-paru mereka akan nikotin. Tidak banyak orang yang berada di sana malam ini.
Disana Fatma sedang berdiri, bersandar pada pagar pembatas, entah sedang menatap Monas atau jalan yang penuh dengan warna-warni lampu kendaraan. Sudah dua bulan sejak terakhir kita bertemu, dia masih tampak mengagumkan seperti biasanya, dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai, dan coat hitamnya. Hanya mungkin ekspresi wajahnya saja yang terlihat murung.
"Hai," sapaku.
"Hai, Don. Thank you, for coming."
Senyumnya masih terlihat mempesona, meskipun di balik senyuman yang lemah itu tercermin kesedihan pemiliknya.
"Jadi, ada masalah apa?"
Fatma menarik napasnya, mengumpulkan kekuatan untuk mulai bercerita.
"Kamu tau ga, udah seminggu ini aku putus sama Ilham?"
Oh, jadi ternyata benar ya.
"Enggak. Tapi aku udah denger rumor tentang itu sih."
Sengaja aku tidak menanyakan lebih lanjut. Dia tidak suka diberondong pertanyaan. Aku hanya menunggu, karena nanti juga dia akan bercerita sendiri.
"Dia dipindahin ke luar negeri. Saat ini sih ke Singapur, tapi nanti dia bakal sering berpindah-pindah tempat, bisa di Asia, ke Eropa atau kemanapun. Nomaden."
Wait, what is he again? A spy?
"Dia bilang mungkin akan sulit buat kita kalau dia ga pernah menetap di suatu tempat. Dia juga ga mau aku ikut dia, karena mungkin bisa berbahaya, buatku."
Must be a spy.
"Aku juga ga bisa membantah. Yang dikatakannya benar. Aku ga bisa ngelepasin kehidupanku disini begitu aja."
Kuperhatikan air mata mulai mengembang di ujung matanya.
"Sudah seminggu lebih, dan aku belum bisa bangkit, Don. Mestinya aku bisa ngelupain dia segera, nyari sifat buruknya yang bisa kubenci, biar semua perasaan ini cepat reda, tapi ga berhasil."
Ketika dia mulai menangis, segera kuraih punggungnya untuk merangkulnya, membiarkan dia menumpahkan kesedihannya hingga habis semua. Dia tidak suka menunjukkan kelemahannya ke orang lain, aku tahu itu.
Beberapa menit berlalu, dua kereta melintas dalam periode itu, dan Fatma pun melepaskan pelukanku. Matanya masih basah seusai menangis tadi.
"Biasanya aku ga pernah punya masalah dengan yang lainnya sewaktu putus. Selalu ada kejelekan mereka yang bisa kujadikan contoh, dan kuingat dalam-dalam supaya aku membenci mereka, dan setelahnya semua beres tak bersisa. Tapi yang ini lain, Ilham berbeda. Kami sudah punya rencana di kemudian hari. Aku punya rencana. Ga gampang untuk ngebuang semua rencana itu ke tempat sampah."
Aku menatapnya lekat-lekat.
"Kenapa mesti membenci dia?" tanyaku sambil tersenyum.
"Supaya aku bisa ngelupain dia."
"Tapi kenapa mesti ngelupain dia?"
Dia tidak menjawab, dan balik memandangku dengan heran. Meminta penjelasan lebih lanjut dariku.
"Kalo emang ga ada yang bisa dibenci dari dia, kenapa mesti dicari-cari kejelekannya? Dan kalopun ada, kenapa kamu mesti benci dia? Mungkin kamu ga perlu membencinya."
"Then, how do I get over him?"
"Biarin aja. Biarkan semuanya mengalir. Kalo kamu masih cinta banget sama dia, biarin aja perasaan itu tetap ada. Mungkin juga kamu bisa menghasilkan sesuatu dari itu, bikin buku atau apa kek. Lalu, ga usah ditungguin, nanti kalo emang sudah waktunya, mereka juga bakal ilang sendiri kok. Mungkin ga bener-bener ilang seluruhnya, tapi cukup buat kamu untuk bisa ngelanjutin hidup kamu yang luar biasa itu."
Perlahan senyumnya mengembang, dan dia tertawa.
"Kamu ini ya, kok sekarang pinter ngomong sih?"
"Hasil dari pengalaman, dan observasi perilaku orang-orang. Kira-kira begitu."
"So, basically, I don't have to do anything to forget him?"
"Right. Semakin kamu ingin melupakan dia, malah semakin sulit untuk melupakan dia. Natural aja. Tau gak, waktu dulu kamu nolak aku, aku juga ga benci kamu abis itu. I mean, I tried, but I just can't."
"Oh ya? Jadi kamu dulu sempet benci sama aku?" tanyanya sambil tertawa.
"Kamu dengerin aku ngomong ga sih? Hih."
Jatuh cinta, patah hati, kemudian menunggu untuk jatuh cinta lagi. Mungkin patah hati lagi, mungkin juga tidak. Seperti itu kan urutannya?
Suara pengumuman dari pihak stasiun menyebutkan kereta tujuan Bogor berikutnya akan tiba. Kuperhatikan wajah Fatma yang sudah tampak segar dan bersemangat, berbeda sewaktu tadi aku pertama melihatnya.
"Udah oke kan? Naik kereta yang ini?"
Dia mengangguk. Di balik senyumannya, dia mengucapkan terimakasih tanpa suara.
~
Bantu aku membencimu
Ku terlalu mencintaimu
Dirimu begitu berarti untukku
Inspired by La Luna - Selepas Kau Pergi.
untuk #30HariLagukuBercerita
2 comments:
Ini kira-kira related sama puisi anaphora yang baru gue posting kemarin loh wi
http://chemistryofray.wordpress.com/2012/09/26/belajar-membenci/
FYI aja, haha
hahah, padahal ditulisnya buat dua project berbeda ya.
Post a Comment