Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Thursday, February 28, 2013

selera dan kepuasan dalam menikmati suatu karya

Membaca convo dari dua teman saya, a dan p, yang sekilas membahas rectoverso. Mereka menganggap film itu biasa-biasa aja, di saat banyak yg bilang kalo filmnya bagus. Komen dari a mungkin agak berlebihan, katanya udah drama, dia gelisah dan merana karena nunggu kapan filmnya selesai. Okay, pendapat tiap orang sih, kan beda-beda.

Iya kan, masalah selera kita tentang suatu karya, baik film, musik, atau buku. Masing2 punya genre favoritnya sendiri. Meskipun untuk karya2 tertentu yang promosinya gencar, saya menduga ada pengaruhnya ke konsumen. Semacam subliminal message. Karya2 yang dipromosikan gencar, apalagi pencetus karyanya terkenal atau memiliki banyak follower, maka bagi kebanyakan fans/followernya, film itu sudah bernilai tinggi buat mereka. Dan ketika menonton, mereka akan menerima dan setuju kalo film itu bagus banget, dan sampe bikin nangis kejer bla bla bla.

Lalu ada juga kebalikannya, justru karena promosi yang gencar itu, ga sedikit juga yang ingin anti-mainstream, dan ga terkesan dengan filmnya. Karenanya, ketika menonton dan menemukan kelemahan2 filmnya, makin menegaskan pendapatnya kalo filmnya ga bagus. Seberapa sering kita lihat fenomena ini? Sering lho. Misalnya yg akhir2 ini Rectoverso-nya Dee Lestari, lalu buku kumcer Singgah, hingga ke film dan novel Kata Hati-nya benzbara. Kalo kita cek akun pengarangnya masing2, kita akan menemukan banyak twit berisi pujian atas karya2 mereka. Bisa jadi karena ybs cuma memilih komentar2 yg positif utk ditampilkan, ato memang komentar2 yg masuk ke akunnya dia semuanya positif, sedangkan yg komentar negatif (ga terlalu suka filmnya) ga disampaikan ke dia, tapi tetap beredar di social media. Makanya kadang kita nemu review seseorang yg bilang kalo bukunya ternyata biasa2 aja, ga spesial.

(Trus gw mau ngomong apa sih ya.) Kalo gw sendiri sih, sejak awal kalo masalah mau nonton film atau baca buku tertentu emang udah dipikirin, tertarik ato engga. Dan kalo udah nonton atau baca, gw akan berusaha menikmatinya, dan ga langsung menyerah dan berkesimpulan, ini jelek. Meskipun gw menemukan kalo ternyata itu ga bagus2 amat, gw akan cari sisi positifnya, yg orang2 bilang bagus, biar paling ga bisa ikut merasakan di sebelah mana bagusnya. Tentu nanti penilaiannya berbeda dengan film yg benar2 bagus dan memuaskan. Anggeplah yang biasa2 itu menurut gw ratingnya 7 sampe 8, sedangkan yg bagus banget itu 9-9.5.

Nah, dalam kasus rectoverso ini, gw juga bukannya bilang kalo itu bagus banget. Karena udah baca banyak orang yg bilang bagus dll, nangis di bagian ini, dll. Makanya gw nontonnya sambil nyari momen itu dan merasakan sendiri. Memang ga sampe bikin gw nangis (butuh adegan lain kyknya), tapi gw setuju kalo itu sedih dan pedih banget. 

Karena selera mungkin beda-beda, tapi masalah kepuasan, kalo gw mesti diusahakan biar kita ga ngerasa sia-sia dalam menikmati suatu karya.

Anyway, sebenarnya yg ngusik gw adalah karena komentar dua temen gw itu ya. Yg satu penulis, buku dan cerpen2nya udah banyak. Dan kebanyakan juga sebenarnya drama, dan dimana banyak yg baca pada suka (termasuk temen yg satu lagi itu), menurut gw yg udah berkali2 baca cerpennya yg gayanya hampir sama semua, ceritanya bosen, karena gitu lagi gitu lagi. Jadi aneh aja buat gw. Ga suka film ini karena drama, padahal cerpen2nya juga drama semua. Ah, selera.

No comments:

Post a Comment