Vania mengerjapkan matanya. Terbangun di tengah malam. Dia masih bergelung di atas sofa, tapi kali ini sudah ada selimut yang menyelubunginya. Pasti tadi Papa dengan pengertiannya membawakan selimut dari kamar, dan bukannya membangunkan dan menyuruhnya pindah ke dalam. Kalaupun dibangunkan, biasanya Vania bakal enggan untuk beranjak dari sana. Euforia setelah seminggu ini bergulat dengan soal-soal UN, Vania yang menemukan kembali kebebasannya memang berniat untuk menghabiskan malam dengan menonton beberapa koleksi DVD filmnya di ruang tengah.
Tidak ada suara bising dari TV. Pasti Papa juga sudah mematikannya tadi. Sunyi. Lamat-lamat hanya terdengar suara Papa dari kamarnya. Mungkin sedang menelpon. Vania tidak bisa mendengarkan dengan jelas suara Papanya, dan dia pun masih mengantuk. Dia kembali memejamkan mata dan terlelap.
*
“Kamu yakin dengan rencana ini?” tanya suara wanita di ujung telpon.
Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Vania sudah besar sekarang, sudah 18 tahun. Sudah selesai SMA pula. Sudah waktunya dia...” suaranya tertahan, “...sudah waktunya dia mengenal ibunya.”
*
Delapan belas tahun. Linda tak menyangka, putrinya sudah sebesar itu. Delapan belas tahun sejak dia pergi, melarikan diri tepatnya, dari Jakarta ke Denpasar untuk menyembunyikan kehamilannya. Delapan belas tahun sejak dia melahirkan bayi yang mereka beri nama Vania. Delapan belas tahun sejak dia dengan pengecutnya meninggalkan bayinya dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Keputusan yang masih disesalinya hingga saat ini.
Linda tahu perbuatannya tak bisa dimaafkan. Membiarkan Bayu seorang diri berjuang membesarkan putri mereka, mengabaikan mereka selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk melihat langsung putrinya. Bayu tidak pernah memaafkannya, meskipun dia masih membolehkan Linda menemui Vania sesekali, sebagai ‘Tante Linda’.
Butuh satu perceraian dan kemurkaan Bayu untuk membuat Linda berubah. Dia masih ingat ketika Bayu membentaknya sepuluh tahun yang lalu, ketika dia menceritakan perceraiannya dan niatnya untuk ikut mengasuh Vania.
“Jangan pernah berani datang kemari dan mengaku sebagai ibunya!”
Dia telah gagal, baik sebagai ibu maupun istri. Kegagalan yang coba ditebusnya sejak saat itu. Dia tidak pernah menikah lagi, juga tidak pernah menjalin hubungan atau affair dengan pria manapun. Dia lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan dan buku-bukunya, dan memperbaiki diri. Demi putrinya. Meskipun Vania mungkin tidak akan pernah menjadi miliknya.
Bayu masih mengizinkannya datang dan menemui Vania, masih sebagai ‘Tante Linda’. Linda pun tidak pernah lagi mengungkit soal hak asuhnya. Bisa menemui putrinya saja sudah merupakan suatu hal yang sangat disyukurinya.
Hingga kemudian malam ini Bayu menelponnya.
*
Bayu bukannya tidak memperhatikan perubahan sikap Linda. Dia menyadari bahwa Linda sudah jauh berbeda dengan perempuan yang 10 tahun lalu dimarahinya. Jauh lebih baik dari perempuan yang 18 tahun lalu meninggalkan bayinya. Lebih pendiam dari sebelumnya, tapi lebih banyak tersenyum. Sepertinya dia sudah menemukan kedamaian yang dibutuhkannya.
Bayu juga tidak memungkiri kalau Vania selalu gembira ketika Linda datang mengunjungi mereka. Wajar saja, karena Linda mungkin satu-satunya sosok ibu yang dimiliki putrinya. Miris, karena memang dialah ibunya. Tidak ada sosok ibu lain buat Vania. Meskipun Bayu pernah mengatakan bahwa dia akan mencarikan ibu untuk Vania, nyatanya dia tidak pernah berhasil melakukannya. Hubungannya dengan wanita-wanita lain hanya berlangsung singkat, dan setelahnya dia tidak pernah benar-benar berniat untuk mencari yang lain.
Bayu membesarkan Vania seorang diri. Tidak mudah, tapi Vania tumbuh menjadi anak yang baik. Mandiri, tangguh, tapi agak tomboi. Dia perlu seorang ibu yang bisa dicontoh dan mengajarinya hal-hal yang tidak dimengerti laki-laki seperti Bayu. Ibu yang bisa setiap saat hadir untuknya, dan bukan cuma beberapa bulan sekali seperti Linda. Sayangnya Bayu bertahan, dengan meyakinkan dirinya bahwa Vania baik-baik saja.
Pernah suatu hari Vania menanyakan tentang ibunya pada Bayu. Dia berkeras ingin tahu siapa ibunya, dan Bayu menolak untuk menjawab. Vania marah dan memukulnya, lalu menangis dan mengurung diri di kamar. Vania ikut klub karate di sekolah, jadi pukulannya sempat membuat lengan Bayu nyeri. Berhari-hari dia murung dan tak mau bicara, lalu entah bagaimana setelah itu dia kembali normal dan tak pernah menanyakan hal itu lagi.
Peristiwa itu membuat Bayu mempertimbangkan kembali keputusannya. Dia harus mengembalikan Vania pada ibunya. Persoalan yang tersisa adalah menentukan waktu yang tepat. Dia belum ingin berpisah dengan putrinya. Satu-satunya orang yang disayanginya dengan sepenuh hati. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya.
Nanti, batinnya. Nanti pasti aku akan merelakan dia pergi.
Hingga kemudian malam ini, ketika dia menyelimuti Vania yang tertidur di sofa, dia mengamati wajahnya. Putri kecilnya. Wajah yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dicintainya. Seseorang yang juga berhak atas putrinya. Seseorang yang dibutuhkan putrinya.
Bayu pun menutup pintu kamarnya dan meraih telpon.
“Linda, aku ingin Vania tinggal denganmu.”
*
“Van, kamu nanti rencananya mau kuliah di mana?” tanya Papa yang baru saja masuk ke dalam kamar Vania dan duduk di ujung tempat tidurnya.
Vania meletakkan komik yang sedang dibacanya. Aduh, Papa... ini kan masih pagi. Vania masih bermalas-malasan di atas kasur bersama beberapa komik yang berceceran di sekelilingnya. Belum mandi pula. Kok langsung diberi pertanyaan seperti ini...
“Belom tau, Pah. Vania mau nyari yang deket aja, yang masih di sekitar Bali.”
Bohong. Padahal Vania sudah punya target, tapi semua universitas yang ditujunya ada di Jawa, dan itu berarti harus berpisah dengan ayahnya. Dia masih ragu apakah dia sanggup menjalaninya. Ragu apakah ayahnya sanggup menjalaninya. Karena itulah, selama ini dia sengaja tidak membahasnya.
“Kalo ke UI aja gimana? Nanti biar kamu tinggalnya sama Tante Linda.”
Hah? Vania tersentak. Dia menoleh dan memandang wajah ayahnya yang sepertinya kurang tidur semalam. Bukan usulan ke UI yang mengejutkannya, melainkan kalimat berikutnya. Vania akan sangat senang bila dapat mengunjungi kediaman tantenya di Jakarta. Sudah sejak lama sebenarnya dia berminat, tapi ayahnya tidak pernah menyetujui. Buat apa ke sana? Kan nanti Tante Linda yang datang ke sini. Begitu selalu yang diucapkannya. Kalau diingat-ingat lagi, seumur-umur Vania tidak pernah meninggalkan Pulau Dewata, kecuali satu kali sewaktu sekolahnya mengadakan study tour ke Lombok. Sekarang tiba-tiba ayahnya mengusulkan agar dia ke Jakarta. Apa ini berarti Papa sudah siap melepasnya?
“Kalo Vania ke Jakarta, Papa juga ikut kan?” dengan kuatir Vania bertanya.
Dengan ragu ayahnya menjawab, “Pekerjaan Papa kan ada di sini, jadi Papa ga bisa ikut pindah ke sana.”
Vania terdiam. Dia sudah bisa menduga jawaban yang dilontarkan ayahnya barusan. Setelah delapan belas tahun atau seumur hidupnya selalu bersama Papa, sekarang akhirnya dia harus pergi. Ada rasa takut, dan juga berat hati untuk berpisah, dan Vania tahu ayahnya juga merasakan hal yang sama. Bedanya, Vania nanti tidak akan sendiri karena ada Tante Linda, sementara ayahnya...
“Papa nanti gimana? Gak apa-apa ditinggal sendiri?”
“Ya gak lah. Kan udah sama-sama gede,” jawab Papa sambil tersenyum. “Nanti kalo libur, kamu bisa pulang ke sini, atau nanti Papa yang ke sana kalo lagi kangen banget.”
Vania bisa merasakan butiran air matanya mulai menggenang. Dia juga bisa melihatnya di mata ayahnya. Dia tahu, pasti berat buat ayahnya untuk mengambil keputusan ini.
“Pah...”
Vania menghambur ke pelukan ayahnya. Membiarkan Papa membelai kepalanya, seperti yang biasa dia lakukan ketika Vania akan menangis.
“Shh... It’s alright...” ucap Papa dengan lembut, “Di manapun Vania berada, Vania bakal jadi anak yang baik kan?”
Vania mengangguk, sembari menahan tangisnya yang sudah telanjur mengalir. “Vania janji, Pah...”
“Nah, begitu dong... Besok Tante Linda datang dari Jakarta. Nanti kita bisa bicarakan hal ini lagi sama dia sambil makan malam.”
Berita kedatangan Tante Linda membuat Vania sedikit tersenyum. Sudah agak lama dia tidak bertemu dengan tantenya, hampir setahun barangkali.
*
Keesokan malamnya, Vania dan ayahnya bertemu dengan Tante Linda di Bebek Bengil, salah satu restoran di The Bay Bali. Mereka duduk beralaskan bantalan empuk di salah satu balai kecil yang disediakan untuk pengunjung. Ayahnya dan Tante Linda duduk berhadapan, sementara Vania duduk di sisi tengah. Di atas meja kecil sudah tersaji masakan bebek andalan restoran itu. Sembari menyantap hidangan, percakapan pun berlangsung.
“Jadi, gimana UN-nya, Vania? Susah ga?” tanya Tante Linda.
“Ya susah lah, Tante... namanya juga ujian.”
“Tapi bisa ngerjainnya kan?”
“Bisa sih, tapi ga yakin,” jawab Vania sambil tertawa, yang tak urung membuat Papa dan Tante Linda ikut tertawa.
“Kalo ekskulnya gimana? Vania ikut teater kan?”
“Ah, aku cuma datang berapa kali, terus ga pernah ikut lagi. Aku lebih suka karate. Di awal semester kemarin aku ikut ujian kenaikan sabuk lagi, sudah yang kelima.”
“Wah, Vania bakal jadi pendekar dong kalo gitu...” goda tantenya.
Percakapan mengalir antara Vania dan Tante Linda, kemudian antara Tante Linda dan Papa. Vania memperhatikan ketika mereka berdua berusaha bercakap-cakap dengan canggung di depannya. Dia tersenyum-senyum sendiri melihat kelakuan mereka. Malam ini benar-benar menyenangkan buat Vania. Bukan hanya karena kedatangan Tante Linda, tapi karena mereka bertiga bisa duduk di satu meja dan menghabiskan waktu bersama. Untuk pertama kalinya. Seperti layaknya keluarga sungguhan. Seperti yang seharusnya mereka lakukan sebagai keluarga.
Vania memandangi mereka berdua. Memandangi ayah dan ibunya.
Iya, Vania sudah tahu.
*
Pernah suatu hari Vania marah pada ayahnya karena tidak mau memberitahu siapa ibunya. Dia mengurung diri di kamar, tapi diam-diam mengikuti ayahnya pergi menemui seseorang, yang tak lain adalah Tante Linda. Dan dia mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Aku tidak sanggup melihat Vania seperti ini. Apa... apa menurutmu sudah waktunya kita memberitahunya?”
“Jangan. Jangan sekarang. Dia tidak akan siap mendengarnya. Dia tidak akan pernah siap.”
“Setidaknya dia perlu tahu kalau ibunya masih hidup. Kita tidak perlu memberitahu kalau kamu ibu kandungnya.”
“Hal itu malah akan membuatnya semakin penasaran. Dia tidak boleh tahu.”
Vania merasa lega mengetahui kalau Tante Linda ternyata adalah ibunya, tapi dia juga bertanya-tanya. Bukankah Tante Linda adalah adik kandung ayahnya?
Saat itu Vania masih belum mengerti istilah itu, hingga dia pun kemudian mencari tahu, dan mengerti sendiri maknanya. Incest. Ayah dan ibu kandungnya sudah melakukan suatu hal yang sangat terlarang, dan dia adalah buah yang dihasilkan darinya.
Berhari-hari dia menutup diri, bingung dengan perasaannya sendiri. Marah, sedih, malu, kecewa. Berhari-hari dia enggan untuk bicara, atau bahkan menatap ayahnya. Dia bahkan sempat berniat untuk kabur dari rumah dan terjun ke laut.
Vania tersenyum sendiri mengingatnya. Dia takjub sekaligus ngeri dengan hal-hal yang dulu hampir dilakukannya. Saat itu Vania sudah berdiri di tepi dermaga, memandangi kapal yang hendak berangkat entah ke mana, dan dia menggenggam selembar karcis. Karcis yang akan membawanya meninggalkan Papa, Tante Linda, dan semua kenyataan mengerikan yang diterimanya. Air matanya dengan deras membanjiri pipi dan wajahnya.
Kemudian dia merobek karcis itu dan membuangnya ke lautan, membiarkannya terbawa arus atau tenggelam.
Vania gadis yang kuat. Ayahnya sudah mendidiknya untuk tidak melarikan diri dari masalah. Vania tidak akan lari.
Vania pun kembali ke rumah dan tidak pernah lagi membahas pertanyaan tentang ibunya. Dia memilih untuk tidak memedulikan apa yang dulu sudah dilakukan ayah dan ibunya. Dia tidak dapat mengubah apa yang sudah terjadi, tapi dia bisa mensyukuri apa yang diterimanya saat ini, dan dia bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk membangun masa depannya. Dia punya seorang ayah yang sangat menyayanginya, dan seorang ibu yang masih hidup, yang juga menyayanginya. Itu saja sudah lebih dari cukup. Dia tidak akan meminta lebih.
*
Vania memandangi kedua orangtuanya. Dia bisa melihat percikan-percikan di mata mereka. Rasa cinta yang mungkin masih tersisa, tapi tidak akan pernah bisa dipersatukan kembali.
Kedua orangtuanya sudah berusaha untuk melindungi perasaannya, dengan menyimpan rahasia penting itu darinya. Vania pun berjanji untuk tidak mengecewakan mereka. Dia juga akan menjaga rahasia itu, dan akan tetap memanggil ibunya dengan sebutan ‘Tante Linda’.
Meskipun begitu, dia berharap suatu saat nanti bisa memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’.
Kebahagiaan orangtua adalah melihat kebahagiaan anaknya, melihatnya tumbuh menjadi anak yang baik, menjadi anak yang bisa dibanggakan, meskipun kemudian mereka harus melepasnya pergi
Kebahagiaan anak adalah memiliki kedua orangtua yang menyayanginya, menjaga nama baik orangtuanya, dan menjadi anak yang mampu membuat orangtuanya bangga.
-OoO-
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Tidak ada suara bising dari TV. Pasti Papa juga sudah mematikannya tadi. Sunyi. Lamat-lamat hanya terdengar suara Papa dari kamarnya. Mungkin sedang menelpon. Vania tidak bisa mendengarkan dengan jelas suara Papanya, dan dia pun masih mengantuk. Dia kembali memejamkan mata dan terlelap.
*
“Kamu yakin dengan rencana ini?” tanya suara wanita di ujung telpon.
Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Vania sudah besar sekarang, sudah 18 tahun. Sudah selesai SMA pula. Sudah waktunya dia...” suaranya tertahan, “...sudah waktunya dia mengenal ibunya.”
*
Delapan belas tahun. Linda tak menyangka, putrinya sudah sebesar itu. Delapan belas tahun sejak dia pergi, melarikan diri tepatnya, dari Jakarta ke Denpasar untuk menyembunyikan kehamilannya. Delapan belas tahun sejak dia melahirkan bayi yang mereka beri nama Vania. Delapan belas tahun sejak dia dengan pengecutnya meninggalkan bayinya dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Keputusan yang masih disesalinya hingga saat ini.
Linda tahu perbuatannya tak bisa dimaafkan. Membiarkan Bayu seorang diri berjuang membesarkan putri mereka, mengabaikan mereka selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk melihat langsung putrinya. Bayu tidak pernah memaafkannya, meskipun dia masih membolehkan Linda menemui Vania sesekali, sebagai ‘Tante Linda’.
Butuh satu perceraian dan kemurkaan Bayu untuk membuat Linda berubah. Dia masih ingat ketika Bayu membentaknya sepuluh tahun yang lalu, ketika dia menceritakan perceraiannya dan niatnya untuk ikut mengasuh Vania.
“Jangan pernah berani datang kemari dan mengaku sebagai ibunya!”
Dia telah gagal, baik sebagai ibu maupun istri. Kegagalan yang coba ditebusnya sejak saat itu. Dia tidak pernah menikah lagi, juga tidak pernah menjalin hubungan atau affair dengan pria manapun. Dia lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan dan buku-bukunya, dan memperbaiki diri. Demi putrinya. Meskipun Vania mungkin tidak akan pernah menjadi miliknya.
Bayu masih mengizinkannya datang dan menemui Vania, masih sebagai ‘Tante Linda’. Linda pun tidak pernah lagi mengungkit soal hak asuhnya. Bisa menemui putrinya saja sudah merupakan suatu hal yang sangat disyukurinya.
Hingga kemudian malam ini Bayu menelponnya.
*
Bayu bukannya tidak memperhatikan perubahan sikap Linda. Dia menyadari bahwa Linda sudah jauh berbeda dengan perempuan yang 10 tahun lalu dimarahinya. Jauh lebih baik dari perempuan yang 18 tahun lalu meninggalkan bayinya. Lebih pendiam dari sebelumnya, tapi lebih banyak tersenyum. Sepertinya dia sudah menemukan kedamaian yang dibutuhkannya.
Bayu juga tidak memungkiri kalau Vania selalu gembira ketika Linda datang mengunjungi mereka. Wajar saja, karena Linda mungkin satu-satunya sosok ibu yang dimiliki putrinya. Miris, karena memang dialah ibunya. Tidak ada sosok ibu lain buat Vania. Meskipun Bayu pernah mengatakan bahwa dia akan mencarikan ibu untuk Vania, nyatanya dia tidak pernah berhasil melakukannya. Hubungannya dengan wanita-wanita lain hanya berlangsung singkat, dan setelahnya dia tidak pernah benar-benar berniat untuk mencari yang lain.
Bayu membesarkan Vania seorang diri. Tidak mudah, tapi Vania tumbuh menjadi anak yang baik. Mandiri, tangguh, tapi agak tomboi. Dia perlu seorang ibu yang bisa dicontoh dan mengajarinya hal-hal yang tidak dimengerti laki-laki seperti Bayu. Ibu yang bisa setiap saat hadir untuknya, dan bukan cuma beberapa bulan sekali seperti Linda. Sayangnya Bayu bertahan, dengan meyakinkan dirinya bahwa Vania baik-baik saja.
Pernah suatu hari Vania menanyakan tentang ibunya pada Bayu. Dia berkeras ingin tahu siapa ibunya, dan Bayu menolak untuk menjawab. Vania marah dan memukulnya, lalu menangis dan mengurung diri di kamar. Vania ikut klub karate di sekolah, jadi pukulannya sempat membuat lengan Bayu nyeri. Berhari-hari dia murung dan tak mau bicara, lalu entah bagaimana setelah itu dia kembali normal dan tak pernah menanyakan hal itu lagi.
Peristiwa itu membuat Bayu mempertimbangkan kembali keputusannya. Dia harus mengembalikan Vania pada ibunya. Persoalan yang tersisa adalah menentukan waktu yang tepat. Dia belum ingin berpisah dengan putrinya. Satu-satunya orang yang disayanginya dengan sepenuh hati. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya.
Nanti, batinnya. Nanti pasti aku akan merelakan dia pergi.
Hingga kemudian malam ini, ketika dia menyelimuti Vania yang tertidur di sofa, dia mengamati wajahnya. Putri kecilnya. Wajah yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dicintainya. Seseorang yang juga berhak atas putrinya. Seseorang yang dibutuhkan putrinya.
Bayu pun menutup pintu kamarnya dan meraih telpon.
“Linda, aku ingin Vania tinggal denganmu.”
*
“Van, kamu nanti rencananya mau kuliah di mana?” tanya Papa yang baru saja masuk ke dalam kamar Vania dan duduk di ujung tempat tidurnya.
Vania meletakkan komik yang sedang dibacanya. Aduh, Papa... ini kan masih pagi. Vania masih bermalas-malasan di atas kasur bersama beberapa komik yang berceceran di sekelilingnya. Belum mandi pula. Kok langsung diberi pertanyaan seperti ini...
“Belom tau, Pah. Vania mau nyari yang deket aja, yang masih di sekitar Bali.”
Bohong. Padahal Vania sudah punya target, tapi semua universitas yang ditujunya ada di Jawa, dan itu berarti harus berpisah dengan ayahnya. Dia masih ragu apakah dia sanggup menjalaninya. Ragu apakah ayahnya sanggup menjalaninya. Karena itulah, selama ini dia sengaja tidak membahasnya.
“Kalo ke UI aja gimana? Nanti biar kamu tinggalnya sama Tante Linda.”
Hah? Vania tersentak. Dia menoleh dan memandang wajah ayahnya yang sepertinya kurang tidur semalam. Bukan usulan ke UI yang mengejutkannya, melainkan kalimat berikutnya. Vania akan sangat senang bila dapat mengunjungi kediaman tantenya di Jakarta. Sudah sejak lama sebenarnya dia berminat, tapi ayahnya tidak pernah menyetujui. Buat apa ke sana? Kan nanti Tante Linda yang datang ke sini. Begitu selalu yang diucapkannya. Kalau diingat-ingat lagi, seumur-umur Vania tidak pernah meninggalkan Pulau Dewata, kecuali satu kali sewaktu sekolahnya mengadakan study tour ke Lombok. Sekarang tiba-tiba ayahnya mengusulkan agar dia ke Jakarta. Apa ini berarti Papa sudah siap melepasnya?
“Kalo Vania ke Jakarta, Papa juga ikut kan?” dengan kuatir Vania bertanya.
Dengan ragu ayahnya menjawab, “Pekerjaan Papa kan ada di sini, jadi Papa ga bisa ikut pindah ke sana.”
Vania terdiam. Dia sudah bisa menduga jawaban yang dilontarkan ayahnya barusan. Setelah delapan belas tahun atau seumur hidupnya selalu bersama Papa, sekarang akhirnya dia harus pergi. Ada rasa takut, dan juga berat hati untuk berpisah, dan Vania tahu ayahnya juga merasakan hal yang sama. Bedanya, Vania nanti tidak akan sendiri karena ada Tante Linda, sementara ayahnya...
“Papa nanti gimana? Gak apa-apa ditinggal sendiri?”
“Ya gak lah. Kan udah sama-sama gede,” jawab Papa sambil tersenyum. “Nanti kalo libur, kamu bisa pulang ke sini, atau nanti Papa yang ke sana kalo lagi kangen banget.”
Vania bisa merasakan butiran air matanya mulai menggenang. Dia juga bisa melihatnya di mata ayahnya. Dia tahu, pasti berat buat ayahnya untuk mengambil keputusan ini.
“Pah...”
Vania menghambur ke pelukan ayahnya. Membiarkan Papa membelai kepalanya, seperti yang biasa dia lakukan ketika Vania akan menangis.
“Shh... It’s alright...” ucap Papa dengan lembut, “Di manapun Vania berada, Vania bakal jadi anak yang baik kan?”
Vania mengangguk, sembari menahan tangisnya yang sudah telanjur mengalir. “Vania janji, Pah...”
“Nah, begitu dong... Besok Tante Linda datang dari Jakarta. Nanti kita bisa bicarakan hal ini lagi sama dia sambil makan malam.”
Berita kedatangan Tante Linda membuat Vania sedikit tersenyum. Sudah agak lama dia tidak bertemu dengan tantenya, hampir setahun barangkali.
*
source: www.facebook.com/TheBayBali |
“Jadi, gimana UN-nya, Vania? Susah ga?” tanya Tante Linda.
“Ya susah lah, Tante... namanya juga ujian.”
“Tapi bisa ngerjainnya kan?”
“Bisa sih, tapi ga yakin,” jawab Vania sambil tertawa, yang tak urung membuat Papa dan Tante Linda ikut tertawa.
“Kalo ekskulnya gimana? Vania ikut teater kan?”
“Ah, aku cuma datang berapa kali, terus ga pernah ikut lagi. Aku lebih suka karate. Di awal semester kemarin aku ikut ujian kenaikan sabuk lagi, sudah yang kelima.”
“Wah, Vania bakal jadi pendekar dong kalo gitu...” goda tantenya.
Percakapan mengalir antara Vania dan Tante Linda, kemudian antara Tante Linda dan Papa. Vania memperhatikan ketika mereka berdua berusaha bercakap-cakap dengan canggung di depannya. Dia tersenyum-senyum sendiri melihat kelakuan mereka. Malam ini benar-benar menyenangkan buat Vania. Bukan hanya karena kedatangan Tante Linda, tapi karena mereka bertiga bisa duduk di satu meja dan menghabiskan waktu bersama. Untuk pertama kalinya. Seperti layaknya keluarga sungguhan. Seperti yang seharusnya mereka lakukan sebagai keluarga.
Vania memandangi mereka berdua. Memandangi ayah dan ibunya.
Iya, Vania sudah tahu.
*
Pernah suatu hari Vania marah pada ayahnya karena tidak mau memberitahu siapa ibunya. Dia mengurung diri di kamar, tapi diam-diam mengikuti ayahnya pergi menemui seseorang, yang tak lain adalah Tante Linda. Dan dia mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Aku tidak sanggup melihat Vania seperti ini. Apa... apa menurutmu sudah waktunya kita memberitahunya?”
“Jangan. Jangan sekarang. Dia tidak akan siap mendengarnya. Dia tidak akan pernah siap.”
“Setidaknya dia perlu tahu kalau ibunya masih hidup. Kita tidak perlu memberitahu kalau kamu ibu kandungnya.”
“Hal itu malah akan membuatnya semakin penasaran. Dia tidak boleh tahu.”
Vania merasa lega mengetahui kalau Tante Linda ternyata adalah ibunya, tapi dia juga bertanya-tanya. Bukankah Tante Linda adalah adik kandung ayahnya?
Saat itu Vania masih belum mengerti istilah itu, hingga dia pun kemudian mencari tahu, dan mengerti sendiri maknanya. Incest. Ayah dan ibu kandungnya sudah melakukan suatu hal yang sangat terlarang, dan dia adalah buah yang dihasilkan darinya.
Berhari-hari dia menutup diri, bingung dengan perasaannya sendiri. Marah, sedih, malu, kecewa. Berhari-hari dia enggan untuk bicara, atau bahkan menatap ayahnya. Dia bahkan sempat berniat untuk kabur dari rumah dan terjun ke laut.
Vania tersenyum sendiri mengingatnya. Dia takjub sekaligus ngeri dengan hal-hal yang dulu hampir dilakukannya. Saat itu Vania sudah berdiri di tepi dermaga, memandangi kapal yang hendak berangkat entah ke mana, dan dia menggenggam selembar karcis. Karcis yang akan membawanya meninggalkan Papa, Tante Linda, dan semua kenyataan mengerikan yang diterimanya. Air matanya dengan deras membanjiri pipi dan wajahnya.
Kemudian dia merobek karcis itu dan membuangnya ke lautan, membiarkannya terbawa arus atau tenggelam.
Vania gadis yang kuat. Ayahnya sudah mendidiknya untuk tidak melarikan diri dari masalah. Vania tidak akan lari.
Vania pun kembali ke rumah dan tidak pernah lagi membahas pertanyaan tentang ibunya. Dia memilih untuk tidak memedulikan apa yang dulu sudah dilakukan ayah dan ibunya. Dia tidak dapat mengubah apa yang sudah terjadi, tapi dia bisa mensyukuri apa yang diterimanya saat ini, dan dia bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk membangun masa depannya. Dia punya seorang ayah yang sangat menyayanginya, dan seorang ibu yang masih hidup, yang juga menyayanginya. Itu saja sudah lebih dari cukup. Dia tidak akan meminta lebih.
*
Vania memandangi kedua orangtuanya. Dia bisa melihat percikan-percikan di mata mereka. Rasa cinta yang mungkin masih tersisa, tapi tidak akan pernah bisa dipersatukan kembali.
Kedua orangtuanya sudah berusaha untuk melindungi perasaannya, dengan menyimpan rahasia penting itu darinya. Vania pun berjanji untuk tidak mengecewakan mereka. Dia juga akan menjaga rahasia itu, dan akan tetap memanggil ibunya dengan sebutan ‘Tante Linda’.
Meskipun begitu, dia berharap suatu saat nanti bisa memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’.
Kebahagiaan orangtua adalah melihat kebahagiaan anaknya, melihatnya tumbuh menjadi anak yang baik, menjadi anak yang bisa dibanggakan, meskipun kemudian mereka harus melepasnya pergi
Kebahagiaan anak adalah memiliki kedua orangtua yang menyayanginya, menjaga nama baik orangtuanya, dan menjadi anak yang mampu membuat orangtuanya bangga.
-OoO-
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
No comments:
Post a Comment