Aku bermimpi.
Dalam mimpiku, kami adalah minoritas di sebuah negeri. Aku lupa mencari tahu apa nama negeri ini, atau di masa apa aku berada.
Ketika aku berada di kuil bersama teman-temanku yang lain, kami dikejutkan dengan suara bising dari luar. Beberapa orang berada di luar kuil kami, berteriak memanggil kami keluar, kemudian mulai melontarkan beberapa kalimat hinaan, lalu melempari kuil kami dengan tomat, telur, dan benda-benda busuk lainnya, sebelum akhirnya berganti dengan batu.
Aku takut. Aku menoleh pada guruku, bertanya. Aku tak dapat mendengar atau mengingat ucapannya, tapi berdasarkan ingatanku tentang dunia nyata, aku paham alasannya. Kami berbeda dengan mereka. Mereka mayoritas, kami minoritas. Hal itu sudah cukup untuk membenarkan tindakan mereka. Sesederhana itu.
Padahal kami tidak mengganggu mereka. Meskipun kami tinggal bersama mereka, kuil kami sengaja diletakkan di pinggiran kota, untuk menghindari persaingan dengan mereka. Kegiatan kami pun hanya seminggu sekali. Kami tidak pernah lancang memasuki wilayah mereka dan menyebarkan kepercayaan kami.
Padahal kulit kami sama dengan mereka, bahasa yang kami gunakan juga sama.
Kita sama-sama merdeka menurut hukum, tapi hanya mereka yang bisa menikmati kemerdekaan itu.
Besoknya kami memperbaiki lagi kuil yang rusak karena aksi mereka. Hanya untuk kemudian dirusak lagi pada kesempatan berikutnya. Kali ini beberapa temanku terkena lemparan batunya. Mereka terluka. Aku semakin ketakutan.
Dalam benakku, yang lagi-lagi bercampur dengan ingatan dunia nyataku, hanya tinggal menunggu waktu sebelum situasi memburuk, dan korban berjatuhan dari pihak kami.
Kulit kami sama dengan mereka, bahasa yang kami gunakan juga sama. Hal itu memberiku ide. Kukatakan pada guru. Aku ingin berhenti. Aku tidak ingin jadi minoritas. Aku ingin jadi bagian dari mereka saja.
Tidakkah kau percaya dengan Tuhan, bahwa pertolongannya akan datang? Guruku bertanya. Aku percaya, jawabku, tapi aku juga masih ingin hidup.
Dengan segera aku pun mengganti kepercayaanku. Kurasakan perbedaan yang besar. Tidak ada lagi tekanan, tidak ada lagi gangguan. Bebas. Sangat bebas sehingga meskipun aku tidak pernah melakukan kewajiban di kepercayaan baruku, tidak ada yang meneriakiku. Aku tetap mengingat Tuhan, dan berdoa untuk teman-temanku supaya situasi ini cepat mereda, dan mereka mendapatkan kemerdekaannya kembali, sehingga aku pun bisa kembali pada mereka.
Guru-guru kami yang paham hukum atau sejenisnya tentu saja berjuang agar pemerintah membantu melindungi mereka. Aku pun optimis. Mereka yang meneror kami juga, sebenarnya hanya bagian kecil dari mayoritas, bukan melambangkan sikap mayoritas secara umum. Kami pasti akan mendapatkan hak kami kembali.
Nyatanya tidak. Sepertinya aku salah mengatur setting mimpiku kali ini. Pemerintah di alam ini sama menyebalkannya dengan dunia nyata. Mereka tuli dan bodoh.
Hingga para perusuh itu semakin beringas. Tak cukup dengan melempar batu, kali ini mereka bertindak keterlaluan. Mereka membakar kuil kami, mengusir teman-temanku yang berlarian keluar.
Dan aku hanya menyaksikan saja dari jauh. Nyaman dengan status baruku.
Ah, sudahlah. Aku tidak ingin meneruskan mimpi yang tidak mengenakkan ini. Lebih baik aku terbangun saja.
Tapi tunggu. Bukankah ini mimpi? Seharusnya aku bisa melakukan apapun yang kusuka kan?
Jadi keesokan harinya, ketika mereka, para perusuh itu, sedang mengadakan rapat di markasnya, aku menyelinap ke sana, dan mengunci ruang rapat mereka dari luar. Kemudian aku menyirami seluruh bangunan markas mereka dengan bensin. Barulah aku menyalakan api.
Dari jarak yang aman, aku memandangi kobaran api di hadapanku, yang menelan bangunan itu dan seisinya, para perusuh itu.
Terbakarlah. Terbakarlah hingga habis.
Kemudian aku terbangun.
-end-
#WriterChallenge tema 3: Merdeka
Dalam mimpiku, kami adalah minoritas di sebuah negeri. Aku lupa mencari tahu apa nama negeri ini, atau di masa apa aku berada.
Ketika aku berada di kuil bersama teman-temanku yang lain, kami dikejutkan dengan suara bising dari luar. Beberapa orang berada di luar kuil kami, berteriak memanggil kami keluar, kemudian mulai melontarkan beberapa kalimat hinaan, lalu melempari kuil kami dengan tomat, telur, dan benda-benda busuk lainnya, sebelum akhirnya berganti dengan batu.
Aku takut. Aku menoleh pada guruku, bertanya. Aku tak dapat mendengar atau mengingat ucapannya, tapi berdasarkan ingatanku tentang dunia nyata, aku paham alasannya. Kami berbeda dengan mereka. Mereka mayoritas, kami minoritas. Hal itu sudah cukup untuk membenarkan tindakan mereka. Sesederhana itu.
Padahal kami tidak mengganggu mereka. Meskipun kami tinggal bersama mereka, kuil kami sengaja diletakkan di pinggiran kota, untuk menghindari persaingan dengan mereka. Kegiatan kami pun hanya seminggu sekali. Kami tidak pernah lancang memasuki wilayah mereka dan menyebarkan kepercayaan kami.
Padahal kulit kami sama dengan mereka, bahasa yang kami gunakan juga sama.
Kita sama-sama merdeka menurut hukum, tapi hanya mereka yang bisa menikmati kemerdekaan itu.
Besoknya kami memperbaiki lagi kuil yang rusak karena aksi mereka. Hanya untuk kemudian dirusak lagi pada kesempatan berikutnya. Kali ini beberapa temanku terkena lemparan batunya. Mereka terluka. Aku semakin ketakutan.
Dalam benakku, yang lagi-lagi bercampur dengan ingatan dunia nyataku, hanya tinggal menunggu waktu sebelum situasi memburuk, dan korban berjatuhan dari pihak kami.
Kulit kami sama dengan mereka, bahasa yang kami gunakan juga sama. Hal itu memberiku ide. Kukatakan pada guru. Aku ingin berhenti. Aku tidak ingin jadi minoritas. Aku ingin jadi bagian dari mereka saja.
Tidakkah kau percaya dengan Tuhan, bahwa pertolongannya akan datang? Guruku bertanya. Aku percaya, jawabku, tapi aku juga masih ingin hidup.
Dengan segera aku pun mengganti kepercayaanku. Kurasakan perbedaan yang besar. Tidak ada lagi tekanan, tidak ada lagi gangguan. Bebas. Sangat bebas sehingga meskipun aku tidak pernah melakukan kewajiban di kepercayaan baruku, tidak ada yang meneriakiku. Aku tetap mengingat Tuhan, dan berdoa untuk teman-temanku supaya situasi ini cepat mereda, dan mereka mendapatkan kemerdekaannya kembali, sehingga aku pun bisa kembali pada mereka.
Guru-guru kami yang paham hukum atau sejenisnya tentu saja berjuang agar pemerintah membantu melindungi mereka. Aku pun optimis. Mereka yang meneror kami juga, sebenarnya hanya bagian kecil dari mayoritas, bukan melambangkan sikap mayoritas secara umum. Kami pasti akan mendapatkan hak kami kembali.
Nyatanya tidak. Sepertinya aku salah mengatur setting mimpiku kali ini. Pemerintah di alam ini sama menyebalkannya dengan dunia nyata. Mereka tuli dan bodoh.
Hingga para perusuh itu semakin beringas. Tak cukup dengan melempar batu, kali ini mereka bertindak keterlaluan. Mereka membakar kuil kami, mengusir teman-temanku yang berlarian keluar.
Dan aku hanya menyaksikan saja dari jauh. Nyaman dengan status baruku.
Ah, sudahlah. Aku tidak ingin meneruskan mimpi yang tidak mengenakkan ini. Lebih baik aku terbangun saja.
Tapi tunggu. Bukankah ini mimpi? Seharusnya aku bisa melakukan apapun yang kusuka kan?
Jadi keesokan harinya, ketika mereka, para perusuh itu, sedang mengadakan rapat di markasnya, aku menyelinap ke sana, dan mengunci ruang rapat mereka dari luar. Kemudian aku menyirami seluruh bangunan markas mereka dengan bensin. Barulah aku menyalakan api.
Dari jarak yang aman, aku memandangi kobaran api di hadapanku, yang menelan bangunan itu dan seisinya, para perusuh itu.
Terbakarlah. Terbakarlah hingga habis.
Kemudian aku terbangun.
-end-
#WriterChallenge tema 3: Merdeka
4 comments:
Kenyataannya, meski negeri ini sudah merdeka. Kemerdekaan (kebebasan) beragama masih saja belum bisa dirasakan oleh mereka yang minoritas.
Satu cerita yang menarik Mas. :)
makasih mas Teguh atas apresiasinya :)
Kuantitas bukan masalah, kita harus tunjukkan kualitas kita yang terbaik...Teirma kasih atas suguhannya Kakak.
sama-sama :)
Post a Comment