Flight pertama di Senin pagi, dengan maskapai terbaik di dunia saat ini, dari Singapore ke Jakarta. Penerbangan yang biasanya eksklusif dan sepi. Dan aku sudah mendapat tempat duduk yang cukup bagus di baris nomor tiga. However...
Selagi aku sedang duduk dengan nyaman di kursi pinggir dan menunggu pesawat mengudara, wanita ini datang. Wanita tinggi, cantik, berpenampilan modis, dan kesempurnaan lain yang bisa dimiliki seorang wanita yang bisa membuat para pria jatuh hati padanya. Satu-satunya hal yang membatalkan kesempurnaannya adalah ketika dia mulai membuka mulutnya, dan memperdengarkan suara judesnya.
“Excuse me, can I sit on this side?”
Aku mengambil tiket dari saku jaketku dan membacanya. 3C. Aku sudah berada di kursi yang tepat, di pinggir. Aku menunjukkan tiketku padanya, tapi dia mengabaikannya, dan memberi isyarat padaku untuk pindah ke sisi jendela.
Ah, sial. Wanita ini jenis yang menyulitkan, dan aku tidak ingin mencari gara-gara dengannya. Dengan patuh, aku berdiri dan bergeser ke kursi sebelah, di dekat jendela.
And she didn’t even say thanks!
Kemudian selama penerbangan, otomatis wanita ini membatasi ruang gerakku. Aku hanya memesan segelas kopi hangat, karena aku kuatir wanita ini akan rewel kalau pramugari berulang kali menyodorkan pesananku di depan wajahnya. Aku juga tidak bisa pergi ke belakang kabin, sekedar untuk mencari udara segar, karena aku sungguh-sungguh enggan meminta wanita ini untuk memberiku jalan. Tidak dengan posisinya yang duduk menyilangkan kaki, memberi isyarat no untuk siapapun lewat.
Dalam kondisi ini, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan. Mengambil tabletku dan memainkan game-game yang ada di dalamnya. Jadilah selama hampir dua jam penerbangan ini, kebanyakan waktuku dihabiskan untuk Sudoku atau Chess.
Aneh juga karena penerbangan dengan maskapai ini biasanya tidak molor seperti sekarang. Seharusnya hanya memakan waktu satu jam. Dan lihat akibatnya pada wanita ini. Dia semakin terlihat berbahaya, dengan sikapnya yang tak bisa diam dan gelisah itu. Aku pun semakin merasa tak nyaman.
Ketika pesawat akhirnya mendarat, wanita itu dengan buru-buru berdiri, dan kepalanya terbentur bagasi.
“Are you okay, maam?” tanya si pramugari. Dan wanita ini menjawabnya dengan judes. Aku geleng-geleng kepala, dan tersenyum pada si pramugari.
Setelah turun dan menunggu koperku di conveyer belt, wanita menyebalkan itu masih ada di sana, masih terlihat berbahaya seperti halnya di dalam pesawat tadi.
Oh no, she’s looking at me. Quick, Sudoku.
Aku pun kembali berkutat dengan tabletku. Setidaknya hingga wanita itu kemudian pergi, bersama beberapa orang lain yang aku tidak peduli apa urusan mereka dengannya.
Blink! Aplikasi chat muncul, dan membawa pesan dari seseorang yang jauh lebih menyenangkan dari wanita tadi.
“Hey, where are you? I’m already done here.”
Segera kujawab, “Still waiting my luggage, oh wait, there it is. I’ll meet you there.”
Segera kuraih koper coklatku, dan bergegas pergi meninggalkan kerumunan orang di tempat ini. Langkah demi langkahku mengantarkanku ke toilet terlebih dahulu, yang terletak di sisi yang mengarah ke luar terminal.
Di dekat lorong menuju toilet, yang dibatasi oleh dinding transparan dengan pemandangan landasan terbang dan pesawat-pesawat yang memenuhinya, ada seorang wanita yang berdiri di sana, menghadap ke luar dan menikmati pemandangan. Pramugari di pesawat tadi.
Mendengar langkahku yang semakin dekat, dia menoleh. Aku tak sempat tersenyum. Kutinggalkan koper cokelatku.
Kuraih punggungnya, kutempelkan wajahku padanya, dan bibirnya pun menyatu denganku. Kucium dia dalam-dalam.
...
Aku sudah mencocokkan jadwal penerbanganku dan jadwal dia bertugas. Aku tidak sempat bertemu dengannya selama di Singapura, karena dia justru sedang berada di London. Ketika dia memberitahuku bahwa setelah penerbangan dari London, dia akan langsung bertugas kembali untuk penerbangan ke Jakarta, aku pun segera memesan tiket.
Bisa kau bayangkan betapa sulitnya menemui seorang pramugari? Senantiasa terbang dari satu tempat ke tempat lain, apalagi untuk maskapai internasional sebesar ini. Tak hanya berkutat dengan kota atau negara berbeda, tapi bahkan benua. Sudah satu bulan sejak kami terakhir bertemu. Dan seharusnya aku bisa melampiaskan kerinduanku padanya di atas pesawat, tapi keberadaan wanita sial itu merusaknya.
Seharusnya aku bisa lebih leluasa menyerap wangi parfumnya ketika dia menghampiriku dan mengantarkan pesananku. Mungkin aku bisa memberinya kecupan singkat. Atau aku bisa pergi ke belakang dan berbicara dengannya di sana. Tapi tidak, aku mesti bersabar dan menunggu sedikit lebih lama. Begitu juga ketika pesawat mendarat dan para penumpang berhamburan keluar. Dia masih harus menyelesaikan beberapa tugasnya untuk penerbangan ini, sebelum akhirnya benar-benar bebas untuk menemuiku.
So, here we are.
Bibir kami saling terkunci, mata terpejam. Aku bisa mendengar desah napas kami yang saling memburu, aku bisa mencium wangi rambutnya yang memabukkan, dan aku bisa merasakan wajah dan mulutnya yang hangat.
My love, the most beautiful woman for me.
Aku melepaskan kecupanku dan membuka mata, memandangi wajahnya yang sumringah.
“I wanted to kiss you since we were on the plane.”
“I know. I know,” ujarnya sambil tertawa.
Aku memeluknya semakin erat, dan kembali melumat bibirnya dengan bergairah. Aku tak ingin berhenti atau melepaskannya. Kami sudah menunggu cukup lama untuk saling melepas rindu, dan keterlambatan ini harus dibayar tuntas.
-end-
taken from flashfict WangiMS here:
Seperti sekarang, Elena bersebelahan dengan lelaki ganteng yang selama penerbangan hanya sibuk memainkan gadgetnya, membosankan. Tapi tetap saja ganteng.
Selagi aku sedang duduk dengan nyaman di kursi pinggir dan menunggu pesawat mengudara, wanita ini datang. Wanita tinggi, cantik, berpenampilan modis, dan kesempurnaan lain yang bisa dimiliki seorang wanita yang bisa membuat para pria jatuh hati padanya. Satu-satunya hal yang membatalkan kesempurnaannya adalah ketika dia mulai membuka mulutnya, dan memperdengarkan suara judesnya.
“Excuse me, can I sit on this side?”
Aku mengambil tiket dari saku jaketku dan membacanya. 3C. Aku sudah berada di kursi yang tepat, di pinggir. Aku menunjukkan tiketku padanya, tapi dia mengabaikannya, dan memberi isyarat padaku untuk pindah ke sisi jendela.
Ah, sial. Wanita ini jenis yang menyulitkan, dan aku tidak ingin mencari gara-gara dengannya. Dengan patuh, aku berdiri dan bergeser ke kursi sebelah, di dekat jendela.
And she didn’t even say thanks!
Kemudian selama penerbangan, otomatis wanita ini membatasi ruang gerakku. Aku hanya memesan segelas kopi hangat, karena aku kuatir wanita ini akan rewel kalau pramugari berulang kali menyodorkan pesananku di depan wajahnya. Aku juga tidak bisa pergi ke belakang kabin, sekedar untuk mencari udara segar, karena aku sungguh-sungguh enggan meminta wanita ini untuk memberiku jalan. Tidak dengan posisinya yang duduk menyilangkan kaki, memberi isyarat no untuk siapapun lewat.
Dalam kondisi ini, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan. Mengambil tabletku dan memainkan game-game yang ada di dalamnya. Jadilah selama hampir dua jam penerbangan ini, kebanyakan waktuku dihabiskan untuk Sudoku atau Chess.
Aneh juga karena penerbangan dengan maskapai ini biasanya tidak molor seperti sekarang. Seharusnya hanya memakan waktu satu jam. Dan lihat akibatnya pada wanita ini. Dia semakin terlihat berbahaya, dengan sikapnya yang tak bisa diam dan gelisah itu. Aku pun semakin merasa tak nyaman.
Ketika pesawat akhirnya mendarat, wanita itu dengan buru-buru berdiri, dan kepalanya terbentur bagasi.
“Are you okay, maam?” tanya si pramugari. Dan wanita ini menjawabnya dengan judes. Aku geleng-geleng kepala, dan tersenyum pada si pramugari.
Setelah turun dan menunggu koperku di conveyer belt, wanita menyebalkan itu masih ada di sana, masih terlihat berbahaya seperti halnya di dalam pesawat tadi.
Oh no, she’s looking at me. Quick, Sudoku.
Aku pun kembali berkutat dengan tabletku. Setidaknya hingga wanita itu kemudian pergi, bersama beberapa orang lain yang aku tidak peduli apa urusan mereka dengannya.
Blink! Aplikasi chat muncul, dan membawa pesan dari seseorang yang jauh lebih menyenangkan dari wanita tadi.
“Hey, where are you? I’m already done here.”
Segera kujawab, “Still waiting my luggage, oh wait, there it is. I’ll meet you there.”
Segera kuraih koper coklatku, dan bergegas pergi meninggalkan kerumunan orang di tempat ini. Langkah demi langkahku mengantarkanku ke toilet terlebih dahulu, yang terletak di sisi yang mengarah ke luar terminal.
Di dekat lorong menuju toilet, yang dibatasi oleh dinding transparan dengan pemandangan landasan terbang dan pesawat-pesawat yang memenuhinya, ada seorang wanita yang berdiri di sana, menghadap ke luar dan menikmati pemandangan. Pramugari di pesawat tadi.
Mendengar langkahku yang semakin dekat, dia menoleh. Aku tak sempat tersenyum. Kutinggalkan koper cokelatku.
Kuraih punggungnya, kutempelkan wajahku padanya, dan bibirnya pun menyatu denganku. Kucium dia dalam-dalam.
...
Aku sudah mencocokkan jadwal penerbanganku dan jadwal dia bertugas. Aku tidak sempat bertemu dengannya selama di Singapura, karena dia justru sedang berada di London. Ketika dia memberitahuku bahwa setelah penerbangan dari London, dia akan langsung bertugas kembali untuk penerbangan ke Jakarta, aku pun segera memesan tiket.
Bisa kau bayangkan betapa sulitnya menemui seorang pramugari? Senantiasa terbang dari satu tempat ke tempat lain, apalagi untuk maskapai internasional sebesar ini. Tak hanya berkutat dengan kota atau negara berbeda, tapi bahkan benua. Sudah satu bulan sejak kami terakhir bertemu. Dan seharusnya aku bisa melampiaskan kerinduanku padanya di atas pesawat, tapi keberadaan wanita sial itu merusaknya.
Seharusnya aku bisa lebih leluasa menyerap wangi parfumnya ketika dia menghampiriku dan mengantarkan pesananku. Mungkin aku bisa memberinya kecupan singkat. Atau aku bisa pergi ke belakang dan berbicara dengannya di sana. Tapi tidak, aku mesti bersabar dan menunggu sedikit lebih lama. Begitu juga ketika pesawat mendarat dan para penumpang berhamburan keluar. Dia masih harus menyelesaikan beberapa tugasnya untuk penerbangan ini, sebelum akhirnya benar-benar bebas untuk menemuiku.
So, here we are.
Bibir kami saling terkunci, mata terpejam. Aku bisa mendengar desah napas kami yang saling memburu, aku bisa mencium wangi rambutnya yang memabukkan, dan aku bisa merasakan wajah dan mulutnya yang hangat.
My love, the most beautiful woman for me.
Aku melepaskan kecupanku dan membuka mata, memandangi wajahnya yang sumringah.
“I wanted to kiss you since we were on the plane.”
“I know. I know,” ujarnya sambil tertawa.
Aku memeluknya semakin erat, dan kembali melumat bibirnya dengan bergairah. Aku tak ingin berhenti atau melepaskannya. Kami sudah menunggu cukup lama untuk saling melepas rindu, dan keterlambatan ini harus dibayar tuntas.
-end-
taken from flashfict WangiMS here:
Seperti sekarang, Elena bersebelahan dengan lelaki ganteng yang selama penerbangan hanya sibuk memainkan gadgetnya, membosankan. Tapi tetap saja ganteng.
No comments:
Post a Comment