Aku masih ingat, waktu aku masih anak-anak, mungkin sekitar 7 tahun. Seorang paman datang ke rumah dan bermain denganku sampe sore. Sebelum dia pulang, dia memberiku sebuah payung berwarna ungu. Katanya biar aku tak kehujanan lagi kalau pulang sekolah.
Sepuluh tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan paman itu. Waktu perayaan ulangtahunku yang ke-17, dia ikut datang, berdiri di samping ayah. Dia menanyakan kemana payung yang dulu dia berikan. Kujawab sudah hilang. Besoknya dia memberiku payung yang baru, dengan warna yang sama. Kali ini dia berpesan, "jangan diilangin lagi ya, soalnya ungu itu warna kesukaan ibumu"
Penasaran, aku bertanya pada Ibu (nenekmu). Tapi warna kesukaannya bukan ungu. Lalu kutanyakan pada ayah dan ibu, siapa paman itu. Akhirnya mereka pun bercerita. Orang itu adalah ayah kandungku.
Sewaktu mengandungku, ibu dan ayahku belum menikah, tapi mereka sangat mencintai satu sama lain. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ibu kandungku wafat setelah melahirkanku. Ayah, yang sangat mencintainya, tidak kuat untuk menerima cobaan yang begitu berat. Dia juga tak mampu mengurus aku yang baru lahir sendirian, dengan kenangan akan kepergian ibu.
Ayah pun datang pada kakekmu, yg merupakan teman dekatnya, untuk menitipkan aku padanya. Setelah itu dia pergi, meskipun setiap bulannya dia rutin mengirimkan uang untuk keperluanku. Aku pun dibesarkan di keluarga ini, sebagai adik dari ibumu.
Sejak kecil aku bukan orang yang terlalu ekspresif. Sewaktu mendengar penjelasan kakek-nenekmu tentang ayah kandungku, reaksiku datar-datar saja. Barulah sewaktu aku sendirian di kamar, aku menangis. Sejak itulah, aku ingin bertemu dengan ayahku. Ayah yang hanya dua kali kulihat sepanjang hidupku waktu itu.
Ternyata menemuinya tidaklah mudah. Dia tinggal di Inggris. Kutunggu bulan demi bulan, tahun demi tahun, tapi dia tidak pernah datang lagi menemuiku. Rupanya ulang tahunku yang ke 17 itu menjadi kali terakhir dia datang ke Indonesia. Padahal aku ingin sekali menemuinya, mengetahui lebih banyak tentangnya dan ibuku. Tapi aku tidak mau merepotkan kakek dan nenekmu dengan meminta uang pada mereka. Aku tidak mau mereka tahu kalau aku ingin menemui ayahku.
Aku pun berusaha untuk mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah di Inggris sana, atau paling tidak, di negara terdekatnya seperti Perancis atau Jerman. Apa daya, kemampuanku yang pas-pasan tidak memungkinkanku lolos, dan aku pun hanya bisa kuliah di sini. Untuk menjadi pramugari pun, tinggiku kurang. Kuubah targetku. Setelah lulus, aku akan bekerja dengan giat dan mengumpulkan uang yang banyak, agar bisa pergi ke Inggris dan menemui ayah.
Keinginan itu pun tercapai dua tahun yang lalu. Aku mengundurkan diri dari perusahaanku, dan kemudian pergi ke Inggris, untuk tinggal di sana bersama ayahku. Butuh waktu untuk mencari dimana ayahku tinggal, lagipula aku tidak tahu apakah dia memiliki keluarga yang baru atau tidak.
Aku pun menemukannya, tinggal seorang diri di rumah peninggalan orangtuanya. Itulah saat paling membahagiakan dalam hidupku, bisa bersama dengan ayah yang kucari-cari sejak dulu. Tapi rupanya kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Ayahku terkena tumor ganas. Kira-kira setahun kemudian, dia wafat.
Hatiku serasa hancur. Separuh dari hidupku kuhabiskan dengan tujuan untuk bertemu dengan ayahku. Begitu tercapai, ternyata aku tidak diberi kesempatan yang cukup lama untuk menikmatinya. Aku pun kehilangan tujuan hidupku. Kucoba kembali ke Indonesia, untuk mencari hiburan dengan teman-temanku. Tidak berhasil. Beberapa kali aku kembali ke rumah ayah di Inggris, untuk mencari sisa-sisa kenangan tentangnya. Hal itu malah membuatku semakin sedih, sehingga aku pun memutuskan untuk berhenti ke sana, dan kembali ke rumahku di sini.
Beberapa hari setelah kepulanganku yang terakhir, aku hanya berdiam diri di rumah. Kurasa pada titik inilah aku sudah lelah dengan semua ini, dan ingin mengakhirinya saja. Setiap harinya aku hanya memandangi botol berisi pil tidur yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari, bimbang menentukan kapan waktu yang tepat untuk menelan semuanya.
Kemudian kau datang, Amela. Melihatmu yang ceria, dan begitu hidup dengan energi remajamu, membuatku teringat akan diriku bertahun-tahun yang lalu. Sewaktu aku seumurmu. Iya, waktu ulang tahunku yang ke-17. Ayahku datang dan menyalamiku. "Selamat ulang tahun, Mawar" katanya sambil tersenyum. Andai saja waktu itu aku tahu kalau dia ayahku, aku pasti akan memeluknya dengan erat dan tak akan membiarkannya pergi.
Kemudian payung ungu itu. Warna kesukaan ibuku. Ayah bercerita tentang bagaimana dia pertama kali jatuh cinta dengan ibuku, sewaktu mereka berdua berbagi payung ungu yang dibawa ibuku. Ayahku tidak pernah membawa payung, dan suatu ketika hujan deras, ibuku menawarkan untuk memakainya bersama-sama.
Payung ungu itu. Ayahku memberikannya padaku dua kali. Yang pertama sudah hilang entah kemana. Tapi yang kedua, yang diberikannya setelah ulangtahunku itu, masih tersimpan dengan baik. Kubawa payung itu dan kutunjukkan padanya sewaktu aku menemuinya di Inggris sana. Dia pun menunjukkan payung ungu miliknya, sebagai tanda bahwa dia selalu mencintai dan mengenang ibuku.
Kemunculanmu bagaikan membawa cahaya bagiku, Amela. Kulihat lagi payung ungu itu. Semua pemiliknya tidak mengalami nasib yang beruntung. Ibuku, dan kemudian ayahku, mereka pergi. Tak lama lagi aku pun akan menyusul mereka, ingin berkumpul dengan mereka di sana. Aku tak ingin payung ungu, yang merupakan warna kesukaan ibuku, selalu dikaitkan dengan nasib malang pemakainya. Karena itulah, aku memberikannya padamu.
Aku percaya padamu, Amela. Kamu anak yang bersemangat dan ceria. Jadi, jagalah payung itu baik-baik, dan buatlah kenangan-kenangan menyenangkan bersamanya.
Maaf kalau aku meminta terlalu banyak.
~
-BERSAMBUNG-
*Baca juga edisi Amela sebelumnya:
1. Payung Ungu Amela
2. Semangkok Bakso Tahu *
Sepuluh tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan paman itu. Waktu perayaan ulangtahunku yang ke-17, dia ikut datang, berdiri di samping ayah. Dia menanyakan kemana payung yang dulu dia berikan. Kujawab sudah hilang. Besoknya dia memberiku payung yang baru, dengan warna yang sama. Kali ini dia berpesan, "jangan diilangin lagi ya, soalnya ungu itu warna kesukaan ibumu"
Penasaran, aku bertanya pada Ibu (nenekmu). Tapi warna kesukaannya bukan ungu. Lalu kutanyakan pada ayah dan ibu, siapa paman itu. Akhirnya mereka pun bercerita. Orang itu adalah ayah kandungku.
Sewaktu mengandungku, ibu dan ayahku belum menikah, tapi mereka sangat mencintai satu sama lain. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ibu kandungku wafat setelah melahirkanku. Ayah, yang sangat mencintainya, tidak kuat untuk menerima cobaan yang begitu berat. Dia juga tak mampu mengurus aku yang baru lahir sendirian, dengan kenangan akan kepergian ibu.
Ayah pun datang pada kakekmu, yg merupakan teman dekatnya, untuk menitipkan aku padanya. Setelah itu dia pergi, meskipun setiap bulannya dia rutin mengirimkan uang untuk keperluanku. Aku pun dibesarkan di keluarga ini, sebagai adik dari ibumu.
Sejak kecil aku bukan orang yang terlalu ekspresif. Sewaktu mendengar penjelasan kakek-nenekmu tentang ayah kandungku, reaksiku datar-datar saja. Barulah sewaktu aku sendirian di kamar, aku menangis. Sejak itulah, aku ingin bertemu dengan ayahku. Ayah yang hanya dua kali kulihat sepanjang hidupku waktu itu.
Ternyata menemuinya tidaklah mudah. Dia tinggal di Inggris. Kutunggu bulan demi bulan, tahun demi tahun, tapi dia tidak pernah datang lagi menemuiku. Rupanya ulang tahunku yang ke 17 itu menjadi kali terakhir dia datang ke Indonesia. Padahal aku ingin sekali menemuinya, mengetahui lebih banyak tentangnya dan ibuku. Tapi aku tidak mau merepotkan kakek dan nenekmu dengan meminta uang pada mereka. Aku tidak mau mereka tahu kalau aku ingin menemui ayahku.
Aku pun berusaha untuk mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah di Inggris sana, atau paling tidak, di negara terdekatnya seperti Perancis atau Jerman. Apa daya, kemampuanku yang pas-pasan tidak memungkinkanku lolos, dan aku pun hanya bisa kuliah di sini. Untuk menjadi pramugari pun, tinggiku kurang. Kuubah targetku. Setelah lulus, aku akan bekerja dengan giat dan mengumpulkan uang yang banyak, agar bisa pergi ke Inggris dan menemui ayah.
Keinginan itu pun tercapai dua tahun yang lalu. Aku mengundurkan diri dari perusahaanku, dan kemudian pergi ke Inggris, untuk tinggal di sana bersama ayahku. Butuh waktu untuk mencari dimana ayahku tinggal, lagipula aku tidak tahu apakah dia memiliki keluarga yang baru atau tidak.
Aku pun menemukannya, tinggal seorang diri di rumah peninggalan orangtuanya. Itulah saat paling membahagiakan dalam hidupku, bisa bersama dengan ayah yang kucari-cari sejak dulu. Tapi rupanya kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Ayahku terkena tumor ganas. Kira-kira setahun kemudian, dia wafat.
Hatiku serasa hancur. Separuh dari hidupku kuhabiskan dengan tujuan untuk bertemu dengan ayahku. Begitu tercapai, ternyata aku tidak diberi kesempatan yang cukup lama untuk menikmatinya. Aku pun kehilangan tujuan hidupku. Kucoba kembali ke Indonesia, untuk mencari hiburan dengan teman-temanku. Tidak berhasil. Beberapa kali aku kembali ke rumah ayah di Inggris, untuk mencari sisa-sisa kenangan tentangnya. Hal itu malah membuatku semakin sedih, sehingga aku pun memutuskan untuk berhenti ke sana, dan kembali ke rumahku di sini.
Beberapa hari setelah kepulanganku yang terakhir, aku hanya berdiam diri di rumah. Kurasa pada titik inilah aku sudah lelah dengan semua ini, dan ingin mengakhirinya saja. Setiap harinya aku hanya memandangi botol berisi pil tidur yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari, bimbang menentukan kapan waktu yang tepat untuk menelan semuanya.
Kemudian kau datang, Amela. Melihatmu yang ceria, dan begitu hidup dengan energi remajamu, membuatku teringat akan diriku bertahun-tahun yang lalu. Sewaktu aku seumurmu. Iya, waktu ulang tahunku yang ke-17. Ayahku datang dan menyalamiku. "Selamat ulang tahun, Mawar" katanya sambil tersenyum. Andai saja waktu itu aku tahu kalau dia ayahku, aku pasti akan memeluknya dengan erat dan tak akan membiarkannya pergi.
Kemudian payung ungu itu. Warna kesukaan ibuku. Ayah bercerita tentang bagaimana dia pertama kali jatuh cinta dengan ibuku, sewaktu mereka berdua berbagi payung ungu yang dibawa ibuku. Ayahku tidak pernah membawa payung, dan suatu ketika hujan deras, ibuku menawarkan untuk memakainya bersama-sama.
Payung ungu itu. Ayahku memberikannya padaku dua kali. Yang pertama sudah hilang entah kemana. Tapi yang kedua, yang diberikannya setelah ulangtahunku itu, masih tersimpan dengan baik. Kubawa payung itu dan kutunjukkan padanya sewaktu aku menemuinya di Inggris sana. Dia pun menunjukkan payung ungu miliknya, sebagai tanda bahwa dia selalu mencintai dan mengenang ibuku.
Kemunculanmu bagaikan membawa cahaya bagiku, Amela. Kulihat lagi payung ungu itu. Semua pemiliknya tidak mengalami nasib yang beruntung. Ibuku, dan kemudian ayahku, mereka pergi. Tak lama lagi aku pun akan menyusul mereka, ingin berkumpul dengan mereka di sana. Aku tak ingin payung ungu, yang merupakan warna kesukaan ibuku, selalu dikaitkan dengan nasib malang pemakainya. Karena itulah, aku memberikannya padamu.
Aku percaya padamu, Amela. Kamu anak yang bersemangat dan ceria. Jadi, jagalah payung itu baik-baik, dan buatlah kenangan-kenangan menyenangkan bersamanya.
Maaf kalau aku meminta terlalu banyak.
~
Amela memandangi surat yang baru saja dibacanya. Surat dari Tante Mawar, yang ditujukan padanya. Dia mengubah posisinya yang bersandar di pohon rindang itu, dan berbaring di rerumputan sekitarnya. Dipandanginya langit yang mendung di atas sana. Sebentar lagi hujan. Dia menoleh ke arah pohon tadi, dimana payung ungu itu tersandar di sana.
Baiklah, Tante Mawar. Aku tidak akan mengecewakanmu.
Baiklah, Tante Mawar. Aku tidak akan mengecewakanmu.
-BERSAMBUNG-
*Baca juga edisi Amela sebelumnya:
1. Payung Ungu Amela
2. Semangkok Bakso Tahu *
2 comments:
wow..
ternyata gitu awalnya..
:)
baru dipikirin belakangan sih sebenarnya :p
Post a Comment