Air terjun Tawangmangu. Tidak tahu kenapa tiba-tiba aku ingin berada di tempat ini, mungkin karena ingin membangkitkan kembali memori tentang pertemuanku dengannya di Niagara, yang sudah lama sekali terjadi. How long has it been? A decade?
Tentunya Tawangmangu tak bisa disamakan dengan Niagara yang merupakan air terjun terbesar di planet ini. Waktu itu setelah sekian lama berkelana, kami tertarik untuk mengunjungi tempat itu, ingin melihat sendiri tempat yang disebut-sebut sebagai salah satu fenomena alam paling menakjubkan di dunia, meskipun bagi kami masih ada lokasi-lokasi air terjun lain yang lebih fantastis, yang sayangnya keberadaannya sudah tak ada lagi di muka bumi ini.
Sekali lagi aku berbaur dengan orang-orang, menggunakan bahasa negeri ini yang baru saja kupelajari. Aku tidak begitu mengikuti perkembangan politik atau situasi di negeri atau tempat-tempat yang kukunjungi, karena memang itu tidak ada urusannya denganku. Mungkin Rafael peduli, karena memang dia tertarik dengan perubahan perilaku manusia dari masa ke masa. Aku tidak. Aku lebih suka menikmati pemandangan dan lingkungan planet ini, yang indah-indah dan menakjubkan, seperti halnya air terjun Tawangmangu ini.
Untuk dapat menemui dan merasakan derasnya hempasan air terjun ini, ada ribuan anak tangga yang mesti kuturuni. Dalam keadaan biasa tentunya aku tak perlu melakukan hal merepotkan ini, hanya tinggal melesat dan tiba di bawah sana, tapi dalam wujud manusiaku, aku mesti bersikap seperti halnya mereka, menuruni anak tangga satu demi satu.
Hingga kemudian aku terkilir di salah satu anak tangga. Jantung di dalam ragaku berdebar-debar sementara tubuhku oleng, menunggu untuk terjatuh berguling-guling di hadapan ratusan anak tangga yang masih tersisa. Hei, Rafael, kita belum pernah membahas apa yang terjadi seandainya kita mengalami cedera yang parah dengan tubuh ini. Apakah kita akan kembali pulih, atau mesti merasakan rasa sakitnya, secara fisik?
Saat aku pasrah akan apa yang terjadi, kurasakan tanganku ditarik dari belakang. Tubuhku pun tertahan dan tak sampai jatuh. Perlahan aku memulihkan keseimbanganku dan menoleh ke arah orang yang sudah menggenggam tanganku dan menyelamatkanku barusan. Seorang anak muda.
“Thank you, young man.”
Kucoba berdiri dengan kedua kakiku, tapi kurasakan kaki sebelah kanan, kaki yang tadi terkilir, tak bisa kugunakan dengan baik.
Anak muda tadi tak tinggal diam, dan menawarkan bantuan.
“Here, let me help”
Akhirnya dia membantuku berjalan menuruni beberapa anak tangga, ke pondok terdekat, yang biasanya digunakan orang-orang yang hendak beristirahat sejenak. Dengan hati-hati dia membantuku duduk. Kemudian dengan sigap dia memeriksa kakiku yang terkilir.
“Bagaimana, parah ya nak?” tanyaku padanya, sekaligus mengkonfirmasi bahwa aku bisa menggunakan bahasanya.
“Lumayan, Bu. Kelihatannya harus segera diurut. Di tempat ini semestinya ada tukang urut yang bisa membantu kalau-kalau ada pengunjung yang cedera seperti yang Ibu alami. Saya panggil dulu ya, Bu.”
“Tidak usah. Saya ada nomornya, nanti tinggal saya panggil. Maaf, apa kamu punya air minum?”
Dia bergegas membuka tas ranselnya, dan mengeluarkan sebotol air, dan membantuku meminumnya.
“Thank you. Kalau tadi kamu tidak menolong, entah bagaimana jadinya.”
“Sudah semestinya sesama manusia kita saling menolong, Bu.”
Saling menolong. Ah, coba kau berada di sini, Rafael, dan saksikan sendiri dengan matamu bahwa masih banyak orang-orang baik seperti anak muda ini yang mau repot-repot menolong ibu-ibu separuh baya yang tidak dikenalnya. Mungkin kau tidak akan terlalu sinis dengan mereka.
“Ngomong-ngomong, Ibu kenapa sendirian? Perjalanan naik dan turun tangga ini mungkin terlalu riskan kalau dilakukan sendirian.”
Kupandangi air terjun yang hanya belasan meter saja letaknya dari kami, dan teringat akan Rafael.
“Tidak ada pilihan, Nak. Satu-satunya orang yang seharusnya menemaniku, sudah terpisah denganku sejak bertahun-tahun yang lalu.”
“Suami Ibu?”
“Semacam itulah.”
“Lalu kenapa Ibu membahayakan diri sendiri dengan datang ke tempat ini sendirian?”
“Karena aku rindu dengannya. Air terjun ini, mengingatkanku ketika masih bersamanya.”
Aku memandangi anak muda itu. Sewaktu dia menggenggam tanganku supaya tak terjatuh tadi, aku bisa melihat isi pikirannya. Dia orang yang baik, meskipun ada suatu masalah yang sedang membebaninya. Mungkin dia bisa membantuku.
“Nak, bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?”
Aku mengeluarkan sebuah kompas dari tasku, dan menyerahkannya pada anak muda itu. Dia terlihat heran.
“Kompas itu adalah milik Rafael, suamiku. Aku tahu dia masih hidup, hanya saja tak tahu dimana keberadaannya.”
Dia memandangi kompas itu dan tulisan-tulisan aneh di permukaannya dengan heran.
“Ibu ingin saya mencarinya?”
Aku tersenyum.
“Tentu saja tidak. Hal itu terlampau sulit. Aku memberikannya padamu, agar nanti kamu bisa memberikannya pada orang lain. Orang yang kamu percaya, yang kamu yakin orang yang tepat untuk menerimanya, untuk kemudian diberikan lagi pada orang lain, dan seterusnya. Jika keberuntungan berpihak pada kami, maka kompas itu suatu saat akan datang padanya. Saat itulah, dia akan tahu kalau aku baik-baik saja, dan kami bisa bertemu kembali.”
Dia meresapi kata-kataku dengan heran, tapi pada akhirnya dia menggangguk, pertanda menyanggupi permintaanku.
“Kamu sedang terburu-buru, ya? Pergilah kalau begitu. Setelah ini aku akan langsung memanggil tukang urut supaya datang.”
Setelah berpamitan, anak muda itu pergi. Aku memperhatikannya sampai dia benar-benar sudah menghilang. Kakiku yang terkilir tadi sudah tak terasa sakit lagi.
Nah, Rafael, sekarang aku hanya bisa menunggu, dan menyerahkan semuanya pada anak manusia itu, agar pesanku bisa sampai padamu.
-end-
No comments:
Post a Comment