Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Thursday, June 14, 2012

#2 Pagi Kuning Keemasan



Jam di dinding masih menunjukkan pukul 4 pagi ketika aku mendengar suara ketukan pintu. Aku sudah terbiasa bangun pagi, sehingga aku langsung terjaga dan berjalan menuju pintu. Seorang laki-laki berkaos polo berdiri di depan pintu, sambil tersenyum.

Dia mencoba menyapa seramah mungkin. “Permisi Pak, maaf mengganggu pagi-pagi buta begini.”

“Maaf, ada keperluan apa ya?” tanyaku.

“Begini pak, saya baru tiba di Belitung tadi malam, dan jam 9 nanti saya sudah harus berangkat lagi ke Kuala Lumpur.”

Aku menunggu.

“Saya ingin menyaksikan matahari terbit. Dari atas mercusuar ini. Kalau Bapak mengijinkan.”

Aku mempertimbangkan sejenak. Sebagai penjaga mercusuar ini, harusnya aku menjaga peraturan yang menyebutkan bahwa mercusuar baru dibuka setelah jam 8 pagi. Memang tidak jarang ada wisatawan yang ingin menyaksikan sunrise di pulau Lengkuas ini. Menurut mereka, pulau yang sudah seperti surga ini belumlah lengkap tanpa pemandangan terbitnya matahari. Biasanya mereka mendirikan tenda dan bermalam di pantai, bukannya mengetuk pintu mercusuar di pagi buta seperti ini.

Ditambah lagi, ada sesuatu firasat yang kurasakan tentang orang ini. Sesuatu yang mencurigakan.

“Saya bisa membayar tambahan biaya karena sudah merepotkan Bapak.”

Dengan halus aku menolak. “Maaf, saya tidak menerima uang tambahan.”

Aku membuka pintu lebih lebar.

“Silahkan, saya juga akan menemani Anda menyaksikan pemandangan dari atas.”

Laki-laki itu mendelikkan alisnya sedikit, sedikit heran mungkin kenapa akhirnya aku mempersilahkannya masuk. Setelah kunyalakan lampu; agak berbahaya menaiki tangga dalam keadaan gelap; aku memandunya dengan menaiki tangga terlebih dahulu dan memberi isyarat padanya agar mengikutiku.

300 lebih anak tangga, setara dengan 19 lantai, itulah kira-kira gambaran dari mercusuar yang sudah dibangun sejak abad 19 ini. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk orang normal untuk mendaki setinggi itu. Untungnya aku sudah terbiasa melakukan olahraga dan aktivitas fisik dulu, sehingga kondisiku tetap fit. Karena itulah, aku berusaha menyembunyikan kekagumanku ketika kami tiba di lantai paling atas, tempat observasi.

Laki-laki itu tidak terlihat lelah, sedangkan aku sedikit terengah-engah setelah perjuangan barusan. Aku bergegas mengambil segelas air dari galon yang disediakan, dan menenggaknya sampai habis.

“Anda mau teh hangat? Saya bisa buatkan sekaligus.”

“Oh, boleh, jika tidak merepotkan.”

“Sama sekali tidak,” jawabku.

Beberapa menit kemudian, kami berdiri memandangi pemandangan di luar, sambil menyesap teh hangat masing-masing.

“Perahu Anda ada di sebelah mana?” tanyaku.

“Di pantai belakang sana. Susah juga mencari pemilik perahu yang mau mendayung di pagi buta ini demi seorang turis asing. Karena itu, saya dan teman saya mendayung sendiri perahu ini kemari.”

“Teman Anda tidak ikut naik ke atas sini?”

“Dia lebih suka menyaksikan dari bawah.”

Sekitar sepuluh menit kemudian, matahari pun muncul, seakan bangun dari tidurnya, bersinar keemasan, yang kemudian menerangi seluruh bagian pulau ini. Membawa cahaya dan kehangatan pada setiap orang yang menunggu saat fajar tiba.

“Beautiful, isn’t it?” kata laki-laki itu.

Aku mengangguk.

“Selama Bapak bekerja di mercusuar ini, pastilah sudah sering mengamati pemandangan indah ini setiap harinya.”

“Pada awal-awal saya bekerja, saya suka menyaksikannya. Kemudian karena sudah terbiasa, saya jadi tidak terlalu antusias lagi. Saya sudah jarang naik ke atas sini dan menunggu matahari terbit.”

“Saya iri dengan Bapak. Pekerjaan kami tidak memungkinkan kami untuk menikmati suasana pagi hari seperti ini sesering yang kami inginkan. Karena itulah, saat langka seperti ini tidak boleh saya lewatkan.”

Dia meletakkan cangkir tehnya di atas pagar balkon mercusuar.

“Kalau saya jadi Bapak, mungkin saya pun akan betah berada di sini, menikmati pemandangan indah surga ini setiap harinya. Bukan begitu, Erlangga?”

Hening. Perlahan kuletakkan cangkir tehku. Beberapa kali kuhirup udara segar.

“Jadi akhirnya kalian berhasil menemukanku. What took you so long?”

Dia tersenyum kecil.

“Actually, they haven’t. Tapi jika saya boleh berkomentar, usaha Anda patut diacungi jempol. Setelah insiden meledaknya fasilitas di Jayawijaya itu, Anda berhasil menghilang selama lebih dari setengah tahun, datang ke pulau ini, dan bekerja sebagai penjaga mercusuar. Bahkan kami pun menemui kesulitan untuk menemukan Anda, Erlangga. Walaupun kami mesti berjuang keras untuk mendahului mereka.”

Aku mencoba bersikap setenang mungkin. “Mereka? Kalian bukan dari CIA atau sejenisnya?”

“Bukan. Kita punya musuh yang sama, Erlangga. Organisasi kami, dan Anda, punya tujuan yang sama. Menghancurkan penelitian berbahaya yang dilakukan mereka. Dan kami tidak berniat menahan Anda. Kami berharap Anda mau bekerja bersama kami, memberikan keahlian yang Anda miliki sebagai ilmuwan genetika untuk membongkar kebusukan mereka.”

Aku tidak menjawab. Informasi ini terlalu banyak untukku.

Sudah setengah jam sejak matahari muncul. Laki-laki itu pun beranjak pergi.

“Seperti yang saya bilang, jam 9 nanti saya mesti pergi ke Kuala Lumpur. Anda bisa memilih untuk ikut dengan kami, Erlangga. Jikapun tidak, saya mesti tetap memberitahu Anda kalau mereka akan tiba di sini tiga hari lagi untuk menangkap Anda. Semoga berhasil.”

Laki-laki itu pun menuruni tangga, meninggalkanku sendiri di atas mercusuar ini. Rumahku selama empat bulan terakhir. Kucoba menikmati lagi sisa-sisa pemandangan fajar yang hampir hilang, yang mungkin tak akan pernah kusaksikan lagi setelahnya.

Damn it.

Tanpa buang waktu, aku pun meloncati anak tangga, berusaha menyusul laki-laki itu sebelum dia berangkat meninggalkan pulau ini.


-end-


* semacam melanjutkan postingan blossomandbatman waktu itu

No comments:

Post a Comment