Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Thursday, June 14, 2012

#3 Jingga di Ujung Senja



Seorang wanita berlari kencang menyusuri Jembatan Ampera ini. Seperti hendak mengejar sesuatu yang sangat penting, begitulah menurut pengamatanku. Dan kurasa aku pernah melihat wajahnya. Kulihat lagi laki-laki yang tadi bersamanya, dia terlihat sedikit bingung.

Kuhampiri dia.

“Ada apa, kak? Kenapa wanita itu lari?” tanyaku.

Dia mengangkat bahu. “Entahlah. Dia memberiku nomor teleponnya, tapi aku tidak tahu nomor ini masuk daerah mana.”

“Boleh kulihat?”

Dia menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan sederetan angka. 085... Hmm, rasanya aku pernah melihat kode nomor telepon yang seperti ini. Nomor telepon versi lama.

“Sepertinya aku pernah melihat dia, tapi tidak ingat namanya. Kakak tahu?”

“Namanya Karla.”

Karla, Karla... Aku berpikir sejenak.

Ah, nomor itu, lalu Karla. Aku ingat. Tapi jika perkiraanku benar, apa kiranya yang dilakukannya di sini?

*

Keesokan sorenya, masih di tengah-tengah Festival Sriwijaya yang tengah berlangsung, tanpa diduga aku melihatnya lagi. Karla. Dia tampak sibuk mencari-cari seseorang, dugaanku pastilah laki-laki yang kemarin bersamanya.

Aku pun menghampiri dan menyapanya.

“Hai.”

Dia menatapku dengan ragu.

“Kamu mau cari laki-laki yang kemarin kan?”

“Darimana kamu tahu?” tanyanya dengan curiga. Mungkin dia merasa kuatir bahwa aku adalah saingannya dalam mendapatkan laki-laki itu.

“Aku bicara dengannya setelah kamu pergi kemarin.”

Dia makin merasa curiga.

“Apa betul kamu Karla Faradian, putri dari Profesor Faradian itu?”

Dia tersentak kaget. Aku tersenyum dan menjelaskan.

“Kamu dan ayahmu sangat terkenal di masa kami. Kalian adalah orang yang sudah berjasa dalam mengembangkan mesin waktu.”

Perlahan, Karla terlihat lebih tenang.

“Betulkah? Saat ini penelitian kami masih pada tahap awal. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya selain aku dan ayahku.”

“Itu karena kalian akan berhasil, dan mesin waktu yang kalian ciptakan akan berkembang semakin canggih.”

“Siapa kamu ini?”

“Aku Tammy. Sama sepertimu, aku juga penjelajah waktu. Aku datang dari masa depan, puluhan tahun setelah masa kalian.”

Karla terhenyak.

*

“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan pada Dharma?” tanyaku ke Karla.

Kami sedang berdiri, bersandar di pinggir Jembatan Ampera, sambil memandangi pemandangan karnaval mobil hias yang sedang melintas.

“Kemarin aku memberinya nomor yang salah. Aku malah memberi nomor hape di tahun 2012, dan bukannya nomor teleponku di masa ini, tahun 1991.”

“Lalu? Kamu berharap dia akan menelponmu?”

“Tentu saja.”

“Karla, apa kamu tidak sadar, di masa ini, kamu mungkin masih balita. Ada perbedaan 20 tahun dari masa ini dengan masamu.”

“Ah, sial. Kamu benar, Tammy. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hal penting seperti ini?”

“Jangan kuatir. Kalau kamu memang jatuh cinta padanya, kamu bisa tinggal saja di sini dan tak perlu kembali lagi,” jawabku. “Tapi tentu saja, sebaiknya lakukan itu setelah mesin waktunya berhasil kalian sempurnakan.”

Karla hanya tertawa mendengar saranku. Dia terlihat senang. Aku pun turut senang, karena bisa bertemu dengan sesama penjelajah waktu, apalagi orang yang dimaksud adalah orang yang sangat kukagumi.

“Apa yang kau lakukan di sini, Karla? Di tempat ini dan di masa ini?”

Karla merenung sejenak.

“Ada alasan tertentu. Personal.”

Dia tersenyum dan balik bertanya, “Bagaimana denganmu?”

Aku memandangi matahari yang sedang terbenam di ujung sana. Warnanya yang kemerahan bercampur jingga membuatku merasa damai.

“Ibuku sering mengajakku ke sini, ke jembatan ini, sewaktu aku kecil. Kami akan menunggu senja tiba dan menyaksikannya hingga malam benar-benar menggantikannya. Aku datang ke masa ini untuk mengingat kembali momen berharga itu. Terlebih lagi, ibuku pernah mengatakan tentang festival ini, sesuatu hal yang sebenarnya ingin dia saksikan, tapi di masa kami festival seperti ini sudah tidak diadakan lagi. Jembatan Ampera ini pun sudah lama dirobohkan.”

Dengan hati-hati, Karla bertanya, “Ibumu, apakah dia sudah...”

“Ya, dia sudah pergi sebelum aku sempat membawanya ke masa ini dengan mesin waktu.”

Kami pun hanya diam memandangi pemandangan merah di langit sana, berusaha menikmati setiap detik keindahannya. Karena untuk tujuan inilah, aku jauh-jauh berkelana ke masa ini, untuk menuntaskan keinginan ibuku yang tak sempat terpenuhi. Ibu...

*

“Ah, waktuku hampir habis! Aku harus segera kembali selagi mesin waktuku masih berfungsi.”

“Aku bisa mengantarmu pulang dengan mesin waktu milikku, Karla. Apa kau lupa, mesin waktu kami sudah jauh lebih hebat dari milikku?”

“Betulkah? Artinya, kita tidak perlu buru-buru pulang. Ayo, aku ingin mencari Dharma lagi.”

-end-


* ngelanjutin FF @rayfarahsoraya di chemistryofray

4 comments:

itsdesvianwulan said...

Kerenn.. nyamber ff-nya ray..
:)

Anonymous said...

Eh, namanya?!!! =))

FF-nya keren :D

Ne said...

baguus :D bisa jadi si karla itu ibunya sendiri ya hehe

minky_monster said...

@itsdesvianwulan thank you, des :D

@myalizarin hehe, iya, pokoknya siap2 aja namanya dipake

@Ne bukan. bukan ibunya, pokoknya beda.

Thank you sudah mampir dan ngasih komen :)

Post a Comment