Selepas mengantarkan serombongan turis Australia kembali ke hotelnya, aku beristirahat sejenak di samping salah satu arca di Pura Besakih ini. Saat akhir pekan, aku mengambil pekerjaan tambahan sebagai guide untuk turis-turis yang mampir ke sini. Dengan Bahasa Inggris yang lebih bagus daripada guide-guide lokal di Bali, aku bisa memperoleh lebih banyak turis, dan otomatis bayaran yang lebih tinggi. Dan ketika memasuki masa libur sekolah, aku bisa menjadi guide setiap hari, mengisi masa liburanku sebagai guru di salah satu SMA di pulau Dewata ini.
Saat itulah wanita itu datang. Linda. Jauh-jauh dari Jakarta, pasti ingin membicarakan sesuatu, permasalahan lain yang dihadapinya.
“Kali ini ada masalah apa, Lin?”
“Suamiku berniat menceraikanku.”
“Kenapa?”
“Dia mengira aku berselingkuh.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi persoalan serupa.
“Melihat perilakumu, aku percaya hal itu memang benar terjadi. Biar kutebak, awalnya kamu bercanda dengannya, terlalu sering, kemudian merayu, dan berikutnya, pertemuan dalam frekuensi yang cukup sering, lalu kalian berselingkuh. Siapa kali ini?”
Linda tidak menjawab, mestilah yang kukatakan tadi benar atau setidaknya mendekati. Bertahun-tahun aku mengenalnya, kebiasaan buruknya tidak berubah. Terlalu akrab dengan teman-teman prianya, sehingga hubungannya selalu kandas. Tak sekali-dua kali aku mengingatkannya untuk berhati-hati, karena dia bermain-main dengan api. Kukira setelah dia menikah, dia akan lebih menjaga sikapnya, untuk menghormati suaminya. Ternyata tidak.
“Pah...” suara kecil itu memecah lamunanku.
Seorang anak perempuan berusia 8 tahun berlari mendekatiku dan merangkulku.
“Tante Linda.”
Kemudian dia menghampiri Linda dan merangkulnya juga. Linda terlihat senang bertemu dengan Asami, putriku yang manis ini. Kadangkala dia berkunjung ketika liburan dan mengajak Asami bermain, karena itulah Asami akrab dengannya.
“Asami,” panggilku. “Papa lagi mau bicara penting sama Tante Linda. Asami pulang ke rumah dulu aja ya, main sama Bli Wahyu.”
Asami tampak merengut, tapi dia tak pernah membantah perintahku. Setelah merangkul kami sekali lagi, dia pun pergi.
Linda memandangi kepergian Asami dengan sedih.
“What a beautiful girl she is. Kamu sudah melakukan kerja yang bagus, dengan membesarkannya seorang diri.”
Aku diam saja, tak mau mengomentari ucapannya.
“Kamu tahu, Bayu... Laki-laki itu, aku mendekatinya, karena dia mirip denganmu.”
“Hentikan, Linda. Yang terjadi di antara kita sudah lama berakhir. Kamu sendiri yang pergi dariku. Jangan membawa-bawa memori masa lalu. Yang terjadi sudah terjadi, tak ada yang bisa diubah.”
“Tapi, Bayu, mungkin ini ide yang bagus. Setelah perceraian ini, aku bisa bersama denganmu, dan bersama-sama kita akan membesarkan Asami.”
“Linda, jangan teruskan. Aku tidak berminat. Asami memang membutuhkan ibu, dan cepat atau lambat aku akan mencari ibu yang baik untuknya. Jadi jangan coba-coba bertingkah seperti ini untuk mendapatkan putriku.”
“SHE’S MY DAUGHTER TOO!” Tangisnya pun pecah.
Dengan susah payah, aku berusaha menahan amarahku.
“Kamu, jangan berani-beraninya datang kemari dan mengaku sebagai ibunya! Kamu meninggalkan dia setelah melahirkannya, dan menyerahkannya padaku begitu saja! Kemana saja kamu di saat dia membutuhkan seorang ibu! Kau seharusnya berada di sana bersamaku untuk menjaganya, menenangkannya ketika dia menangis di tengah malam, menggantikan popoknya, dan bukannya pergi, dan baru kembali bertahun-tahun kemudian untuk bertingkah sebagai ibu yang baik.”
Aku bisa merasakan wajahku yang panas setelah mengeluarkan semua emosiku barusan, tak peduli dengan Linda yang terus menangis, menyesali kesalahannya di masa lalu.
Delapan tahun yang lalu, di pulau ini, aku menungguinya sampai dia melahirkan Asami. Putri kami. Kemudian hanya seminggu setelahnya, sewaktu tubuhnya sudah pulih, dia langsung kabur, meninggalkan semua tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.
Dengan tangis yang memilukan, dia berkata dengan terbata-bata. “Pilihan apa yang kupunya? I am your sister!”
.........
Betul, Papa dan Mama pasti tak akan bisa menerima hal ini dengan baik. Linda mengungsi ke Bali segera setelah perutnya semakin terlihat besar. Aku menyusulnya sebulan sebelum dia melahirkan. Kami tidak pernah memberitahu mereka tentang hal ini, tentang kehamilannya, tentang hubungan terlarang yang kami lakukan. Aku mengusulkan padanya untuk tetap bertahan bersamaku dan mengurus Asami, tanpa perlu memberitahu orangtua kami. Dia belum siap untuk hidup seperti itu dan menerima pandangan sinis dari orang-orang yang menghakimi kami.
“You had a chance to be a good mother, and you threw it away.”
Aku bangkit dan berjalan meninggalkannya yang masih terisak.
“Kamu gagal sebagai ibu, dan gagal sebagai istri. Sebelum kamu memperbaiki perilakumu dan belajar untuk menerima segala sesuatunya, kamu tak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang kamu cari. Sampai saat itu terwujud, stay away from me and my daughter.”
-end-
No comments:
Post a Comment