Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Saturday, June 23, 2012

#11 Sasirangan

 "Kunikmati rindu yang datang membunuhku..."

Alunan lagu yang merdu dari Last Child tadi dengan semena-mena dicabut dengan paksa dariku. Orang paling menyebalkan ini pelakunya.

“Bangun woi! Udah jam setengah delapan nih. Anterin gw belanja, sekarang!”

Perkenalkan. Wanita jahat ini adalah Erika, kakakku. Kenapa kubilang jahat, bagaimana tidak, selagi adiknya masih pengen tidur-tiduran di Sabtu pagi, dia malah menyuruhku jadi supirnya hari ini.

“Ntar aja kenapa, biar belanjanya sama Mama. Daripada lu ngerusuhin gw kayak gini?”

“Ga usah banyak bacot. Cepetan! Gw tunggu di bawah, sepuluh menit lu harus turun.”

Yang lebih menyebalkan adalah aku menurutinya. Segera aku mandi kilat dan berganti baju dan menyusulnya ke depan hotel. Tidak ada gunanya berdebat dengannya, karena bila aku melaporkannya pada Papa atau Mama, mereka pasti akan menyuruhku memaklumi kakakku dan menuruti keinginannya.

Segera setelah aku membawa mobil sewaan dan mengangkut tuan putri ini, aku menanyakan tujuan kami. Aku tidak kenal daerah ini, dan jadinya hanya membiarkan dia mengarahkanku ke suatu kawasan pertokoan alias tempat belanja di Banjarmasin ini. Setelah sejam lebih berkeliling dan menghabiskan uang untuk belanja beraneka barang, berikutnya kami mengunjungi sebuah toko batik lokal.

“Gw mau ngasih oleh-oleh Sasirangan buat temen-temen kantor.”

“Sasangiran apaan tuh?”

“Sasirangan, tau! Batik khas Banjarmasin.”

Mulailah dia berkeliling, mengamati, memilih-milih kebaya bermotif Sasirangan yang hendak dibelinya. Aku cuma melihat-lihat sekilas tanpa minat. Tapi tak urung terpikirkan olehku seorang Mila. Ah, boleh juga kali ya kalo aku ngasih dia kebaya ini sewaktu pulang ke Surabaya nanti. Tapi kayaknya kebaya terlalu mencolok, apa syal aja ya?

Selagi aku sibuk melamun, tiba-tiba Erika mencengkram bahuku dan berlindung di balik punggungku.

“Kenapa?”

Dia tidak menjawab dan langsung menyerahkan keranjang belanjaannya padaku. Juga beberapa helai uang lima puluhan.

“Bayarin ya, gw tunggu di mobil.” Lho, aku memberikan pandangan bertanya. “Udah, bayarin aja. Kalo perlu, sekalian beliin satu ato dua buat pacarlu tuh.”

Ah, oke. No questions asked. Beginilah nasib adik yang tertindas, gampang sekali disogok. Mudah-mudahan aku nanti tidak jadi pejabat, bisa gawat kalau kebiasaan gampang disogok ini dipelihara.

*

Setibanya di mobil, aku hanya memandangi kakakku yang tiba-tiba murung, berbeda sekali dengan image nenek sihir yang biasa ditunjukkannya.



Kami pun menuju tempat selanjutnya, yaitu Pasar Terapung di Barito. Dalam beberapa menit, kami sudah berada di tengah-tengah sungai yang lumayan sepi. Maklumlah, sudah jam 11 siang, sedangkan pasar ini biasanya hanya ramai di pagi hari. Hanya ada beberapa perahu yang berkeliaran, kuperkirakan mereka adalah orang-orang yang sedang berlibur ke Banjarmasin seperti halnya keluarga kami.

Kuperhatikan kakakku yang masih terlihat murung.

“Yang tadi itu kenapa? Kok tiba-tiba kabur?”

Dia menoleh ke tempat lain, tidak mau ekspresi wajahnya terbaca olehku.

“Gak papa. Cuma ngeliat orang yang dikenal tadi.”

“Trus kenapa gak nyapa? Oh, mantanlu ya? Mantan yang mana?” tanyaku usil.

Aku berhasil membuatnya lepas dari kemurungannya. Dia berbalik dan memukul tanganku dengan kesal.

“Udah diem deh. Bukan urusanlu tauk.”

“Nanti gw laporin sama Mama tentang mantan-mantanlu baru tau rasa deh.”

“Eh jangan, jangan. Ampun, Baginda Ferdi. Jangan lapor Mama yah, ntar jatah bonus voucher makan gw bakal rajin gw setor deh.”

Seperti biasa, aku lemah terhadap gratifikasi seperti ini. Memalukan.

Beberapa menit berlalu, dan aku hanya mendayung setengah hati, sekedar untuk menghabiskan waktu sewa perahu yang 2 jam ini. Kakakku kembali duduk merenung, sambil memandangi perahu-perahu lain yang berseliweran di sekitar kami. Kemudian barulah momentum itu terjadi.

“Erika!”

Sebuah suara memanggil nama kakakku dari samping kami. Seorang laki-laki, mendayung perahunya untuk mendekat. Kakakku tertegun, seakan kehilangan kata-kata.

“Hasan...”

Dengan suara tertahan, dia menyebut nama laki-laki itu.

Aku memandangi perubahan sikap kakakku yang tadinya murung, mendadak berseri. Tak bisa terbantahkan, dia senang sekali bertemu dengan orang ini. Begitupun dengan Hasan.



Apa boleh buat.

Di toko batik tadi, begitu aku membayar di kasir, laki-laki ini, bertanya dari balik meja kasir padaku. Sepertinya dialah pemilik toko ini.

“Kamu kenal perempuan tadi?” Kuasumsikan dia merujuk pada Erika.

“Iya, dia kakakku.”

Bisa kulihat kecemasan itu hilang dari wajahnya. Dia pun langsung membeberkan semuanya. Bahwa dia dan Erika berpisah selepas mereka lulus SMA. Erika ingin melanjutkan kuliah bersamanya, tapi Hasan memilih untuk pulang ke Kalimantan untuk melanjutkan usaha ayahnya yang terancam bangkrut.

Aku tak tahu, kalau kakakku pernah seperti itu, punya orang spesial di hatinya.

Sebelum meninggalkan toko, kubilang pada Hasan, “Habis ini kami mau pergi ke Barito. Susul aja kalo Mas mau.”

And here he is.

Kuperhatikan mereka berdua yang saling memandang penuh cinta. Dan tak peduli seberapa besar rasa ingin tahuku untuk mendengarkan apa yang akan mereka bicarakan, kurasa ini bukan urusanku.

Jadi kupasang earphone iPodku, dan kembali melanjutkan alunan lagu yang terputus tadi pagi.


-end-

No comments:

Post a Comment