Featured Post

[Review] Game of Thrones (season 6)

Setelah setahun, GoT kembali di season 6. Sebenarnya gw juga ga begitu nunggu2 sih, karena lagi asik ngikutin serial yg lain (The Flash...

Wednesday, June 20, 2012

#5 Sepanjang Jalan Braga



Sewaktu Weni mengajakku pergi ke pameran buku di Landmark Braga, aku langsung bersemangat. Setelah beberapa hari selalu gagal mendapat kesempatan untuk berduaan dengannya, akhirnya hari ini hal itu bakal terwujud. Setidaknya itulah yang kuharapkan.

Karena itulah, bisa dibayangkan betapa kecewanya hati ini ketika pada akhirnya kami bertemu di depan lokasi pameran, bahwa dia tidak datang sendiri. Kami janjian untuk bertemu langsung di sana, karena Weni mesti ikut les bahasa Prancis sampai jam 4 sore. Ternyata dia membawa salah seorang temannya. Seketika rencana yang sudah kususun matang batal semua.

Selama sejam berada di sana, aku hanya mengikuti mereka, berusaha menjaga mood agar tidak terlihat terlalu cemberut. Weni dan temannya, Mia dengan tekun menelusuri penjuru Landmark, berkeliling dari satu stand ke stand lainnya. Membeli beberapa buku novel yang sedang diobral murah, juga sempat tertarik untuk membeli beberapa buku pelajaran bahasa Prancis, sebelum memutuskan kalau buku paket dari CCF sudah terbilang lengkap dan memadai. Aku yang sebenarnya tidak begitu tertarik dengan buku, tidak membeli apa-apa.

Sesudahnya Weni pulang dengan dijemput ayah ibunya yang sedang datang ke Bandung, untuk pergi ke Lembang. Aku tentu saja tidak diajak. Alih-alih, Weni menyuruhku untuk menemani Mia pulang. Lengkap sudahlah kegagalan ini.

Jadi, sepanjang jalan Braga, dengan terpaksa aku berjalan menemani Mia pulang, hingga ke persimpangan dimana angkot tujuan Dipati Ukur melintas. Yang membuatku semakin sebal adalah sewaktu aku hendak menyalakan rokokku, Mia langsung protes.

“Gie, kalo kamu mau ngedeketin Weni, mending kamu stop deh ngerokoknya. Banyak cewek yang ga suka cowok yang ngerokok. Termasuk Weni.”

Kok jadi dia yang ngomentarin, sih? Apa urusannya? Kusimpan kekesalanku dalam hati, tidak enak kalo mesti bertengkar dengan Mia, mengingat dia adalah temannya Weni.

Perjalanan ini pun semakin bertambah lama, ketika di depan sebuah bangunan putih, Mia berhenti dan mulai mengambil gambar dengan kamera sakunya. Terpaksa aku harus menungguinya hingga dia puas.

“Gie, minta tolong dong. Fotoin aku.”

Mia pun berdiri di samping pintu bangunan, atau rumah, entahlah, bernomor 35 itu. Sementara aku bersiap-siap dengan kameranya. Sudahlah, cepat foto dia lalu lanjutkan perjalanan, buat apa berlama-lama...

Sebentar.

Dengan seksama aku memperhatikan Weni dari balik kamera. Senyumnya, parasnya, rambut sebahunya.

Aku baru sadar, sepanjang sore hingga malam ini, baru kali inilah aku benar-benar memandang langsung ke arahnya. Cantik. Cantik sekali.

“Hei, sudah belum?” tanyanya mengingatkan.

Dengan alasan gambarnya buram, kubidik lagi dan kuambil gambarnya berkali-kali. Untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat.

Sesi pemotretan selesai. Perjalanan berlanjut, dengan pikiranku yang tiba-tiba dipenuhi pertanyaan tentang Mia yang sekarang berjalan di sampingku.

Mia. Bukankah dia anak unit sebelah, unit fotografi? Iya, sepertinya beberapa kali aku pernah melihatnya mondar-mandir di depan unit sepeda. Iya, yang waktu itu pernah bawain kue ke anak-anak sepeda, kan? Masa sih itu dia?

Seketika aku menjadi gugup, sekaligus senang.

Aku jatuh hati.


-end-

No comments:

Post a Comment