Aku memperhatikan sepasang anak muda yang sedang berpegangan tangan, saling tertawa, kemudian berlarian, si perempuan berusaha merebut kamera yang sedang dipegang si laki-laki. Betapa mesranya mereka, mengingatkanku pada diriku sendiri bertahun-tahun yang lalu, sewaktu kami masih semuda mereka.
Jam berdentang. Refleks, aku menoleh ke arah bunyi itu, ke bangunan besar yang merupakan pusat dari tempat ini. Jam Gadang, sumber suara itu, menunjukkan pukul 11 siang. Jam Gadang di Bukittinggi, Sumatra Barat. Di sinilah aku berada sekarang, hendak bertemu dengan seseorang yang penting dalam hidupku. Seseorang dimana aku pernah berlarian dengannya di tempat ini, seperti sepasang anak muda tadi.
Aku duduk di tempat yang agak teduh, sembari menunggu putriku yang sedang pergi membelikan minuman. Siang ini terasa panas sekali.
“Pah,” panggil putri kecilku yang tiba-tiba muncul, membawa dua botol air dingin, lalu memberikan satu padaku.
Aku tersenyum dan meraih botol air itu. Sembari meredakan dahaga, kami duduk dan menunggu.
“Mama masih lama ga sih datengnya?” tanyanya.
“Sebentar lagi, Tia.”
“Aku udah ga sabar ketemu Mama,” rengeknya.
“Iya, Papa juga.”
Bisa kubayangkan betapa kangennya putriku satu-satunya ini pada ibunya. Istriku sudah lebih dulu berangkat ke Padang seminggu sebelumnya, untuk membantu acara pernikahan adiknya. Sementara aku dan Tia menyusul kemudian, setelah acara besar keluarganya itu selesai. Kami berjanji untuk bertemu di sekitar Jam Gadang, karena aku tidak begitu hafal daerah ini.
Aku tidak ingat sudah berapa kali mengunjungi tempat ini, tapi yang paling berkesan adalah sewaktu libur panjang kuliah, dimana dia pulang ke kampung halamannya, dan aku ikut berkunjung untuk berkenalan dengan keluarganya.
Ketika minuman kami habis, aku pun berdiri dan memutuskan untuk berjalan mencari istriku.
“Yuk Tia, kita jalan aja sambil nyari Mama.”
Tia bangkit dengan semangat dan meraih tanganku. Lucu sekali dia ini. Usianya baru 7 tahun, tapi dia tergolong pintar, dan bersemangat. Kurasa itu menular dari ibunya.
Tak berapa lama, Tia berteriak sambil menarik-narik tanganku.
“Pah, itu dia Mama udah ada di sana!”
Di seberang jalan, di sanalah istriku menunggu dan tersenyum melihat kami. Tia melepaskan genggamannya dari tanganku dan berlari menuju ibunya. Aku tersenyum dan berjalan menyusulnya.
Ketika itulah seseorang memegang tanganku, menahanku agar tidak beranjak pergi. Seorang perempuan.
“Dia bukan putrimu.”
Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya barusan.
“Permisi. Saya tidak tahu kamu siapa, tapi saya ada keperluan penting dengan istri dan anak saya,” kataku sambil berusaha melepaskan pegangan tangannya.
Dia tak mau menyerah.
“Kau belum menikah dan memiliki anak!” katanya dengan tegas.
Cukup sudah. Pasti dia salah satu orang gila yang tersesat di tempat ini, percuma aku meladeninya. Aku mengabaikannya dan beranjak pergi untuk menuju ke seberang jalan.
Lampu penyeberangan masih berwarna merah. Aku menunggu, sambil memandangi istri dan anakku di depan sana. Mereka tersenyum ke arahku, mengajakku untuk segera bergabung.
Tunggu sebentar.
Kupandangi mereka baik-baik. Seketika aku tidak mengenali kedua orang itu.
Terdengar suara orang tertawa. Aku menoleh, dan melihat pasangan muda tadi, sedang bermesraan. Astaga! Laki-laki itu adalah aku! Apa maksudnya ini?
Lampu penyeberangan berubah menjadi kuning. Aku menunggu, tapi warna kuning itu tak kunjung berubah menjadi hijau. Cepatlah, aku mesti menghampiri mereka untuk memastikan apakah mereka keluargaku atau bukan.
Teng! Jam Gadang kembali berdentang. Refleks, aku menoleh ke belakang untuk melihatnya. Jam 11 siang. Tunggu, bukankah tadi sudah jam 11 siang?
Aku kembali menoleh ke depan, dan lampu penyeberangan sudah berubah warna, menjadi merah kembali.
Aku terdiam. Aku berdiri saja dan menatap lagi ke seberang. Mereka jelas bukan istri dan anakku. Kuperhatikan pasangan muda yang sedang bermesraan itu. Itu memang aku, bertahun-tahun yang lalu.
Aku ingat sekarang. Waktu itu aku memang berkenalan dengan keluarganya, tapi mereka tidak menyetujui hubungan kami. Tak berapa lama setelah itu, kami pun putus.
Aku berdiri di sana, tak mempedulikan lampu penyeberangan yang kutahu pasti tidak akan berubah menjadi hijau.
Hmm. Aku tertawa. Pintar sekali. Menggunakan salah satu memori lamaku yang sudah lama tersimpan, kemudian menciptakan memori-memori palsu darinya. Membuatku terperangkap di tempat ini.
Aku menoleh dan mencari perempuan tadi, yang sudah menyadarkanku. Dia masih berada di sana, mengangguk padaku.
Aku menghampirinya.
“Level berapa ini?” tanyaku.
“Level tiga.”*
Begitu ya, pantas saja semua ingatan palsu ini terasa sungguhan. Kami pasti sedang berurusan dengan lawan yang tangguh.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku padanya.
Dia menjawab dengan pasti.
“Kita harus mencari yang lainnya.”
-end-
*Alam mimpi dengan kedalaman level 3, terinspirasi dari film ‘Inception’
7 comments:
wow..
keren!
Level 3 mengingatkanku pada keripik pedas seketika.. #salahfokus.
hihihihi.. nice story anyway. :D
makasih kakak2 :D
Eh? Ini Pram?
Atau gw bacanya lagi linglung?
*jeng jeng* :O
hehe, bukan. Beda orang, tapi adegannya nyontek :p
menemukan diriku bingung di akhir cerita, hehe...
keren bang!!! :D
pegangan atuh kalo bingung :)
Post a Comment