Daratan Cina di ambang peperangan besar. Kerajaaan Wei yang dipimpin Cao Cao, bersiap untuk menyerang Kerajaan Wu yang dipimpin Sun Jian, yang juga sudah bersiap menerima kedatangan ratusan ribu pasukan lawan. Permasalahan di daratan Cina ini adalah sulitnya wilayah yang begitu luas ini disatukan dalam satu kepemimpinan. Masing-masing kerajaan merasa bahwa merekalah yang paling pantas menguasai seluruh daratan.
Kedua pemimpin kerajaan ini, Cao Cao dan Sun Jian, mereka berdua sama-sama orang yang keras pendiriannya, dan terlalu bangga dengan kerajaannya sehingga usul berdamai dengan cara apapun niscaya akan mereka tolak. Padahal tidak semua orang-orang di dua kerajaan itu ingin berperang. Adalah Cai Wenji, putri Cao Cao, dan Lu Xun, putra Sun Jian, yang tak ingin kedua kerajaan ini berperang. Mereka punya alasan kuat untuk itu. Mereka saling jatuh cinta.
Oleh karena itulah, sehari sebelum perang bergejolak, keduanya bertemu secara sembunyi-sembunyi, seperti biasanya, di hutan yang berada di luar kekuasaan kedua kerajaan.
“Lu Xun, aku kuatir dengan perang ini. Ayahku tak bisa diubah pendiriannya. Dia tidak akan mundur.”
“Begitupun dengan ayahku, Cai Wenji. Aku juga kuatir kalau justru mereka berdua akan sama-sama hancur. Apapun hasilnya, peperangan ini akan membuat kita tidak bisa bersatu.”
Sepasang kekasih itu pun merenungi masa depan mereka yang tak menentu.
“Cai Wenji, menikahlah denganku.” ujar Lu Xun tiba-tiba.
Wenji sekilas tersenyum, tapi kemudian wajahnya kembali murung.
“Ayahku, dan juga ayahmu, tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”
~
Keesokan harinya, perang pun tak terelakkan. Cao Cao berhadapan dengan Sun Jian di tengah-tengah dataran luas, beserta masing-masing ratusan ribu pasukan mereka. Di belakang kedua raja itu, masing-masing Cai Wenji dan Lu Xun, saling berpandangan dari kejauhan. Di seberang sana, Lu Xun berbicara dengan ayahnya, Sun Jian.
“Ayah, biarkan aku maju terlebih dulu. Aku ingin bertanding dengan putri Cao Cao itu.”
Sun Jian mengiyakan, dan Lu Xun pun maju mengendarai kudanya ke tengah-tengah arena pertempuran.
“Cai Wenji!” panggilnya dengan suara lantang. Tak berapa lama, Cai Wenji, yang juga seorang ksatria, maju menghampiri Lu Xun. Mereka berdua turun dari kuda masing-masing dan saling berpandangan.
“Wenji...” bisik Lu Xun, “menikahlah denganku.” mintanya sekali lagi.
“Lu Xun, sudah kubilang, ayahku tak akan setuju.”
“Tapi bagaimana denganmu? Itu yang ingin kuketahui.”
“Aku... sungguh ingin.”
“Kalau begitu, kita lari saja. Lari dari tempat ini, lari dari ayah kita, lari dari kerajaan ini, melupakan semua peperangan ini, dan memulai hidup baru, hanya kita berdua saja.”
Cai Wenji pun menitikkan air matanya.
“Bawa aku pergi.”
Dengan sigap, Lu Xun meraih Cai Wenji dan menaikkannya ke atas kuda miliknya, kemudian dia pun menyusul, duduk di belakangnya. Tanpa membuang waktu, Lu Xun pun memacu kudanya dengan kencang, meninggalkan arena peperangan, meninggalkan kedua ayah mereka yang masih berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
-BERSAMBUNG-
Kedua pemimpin kerajaan ini, Cao Cao dan Sun Jian, mereka berdua sama-sama orang yang keras pendiriannya, dan terlalu bangga dengan kerajaannya sehingga usul berdamai dengan cara apapun niscaya akan mereka tolak. Padahal tidak semua orang-orang di dua kerajaan itu ingin berperang. Adalah Cai Wenji, putri Cao Cao, dan Lu Xun, putra Sun Jian, yang tak ingin kedua kerajaan ini berperang. Mereka punya alasan kuat untuk itu. Mereka saling jatuh cinta.
Oleh karena itulah, sehari sebelum perang bergejolak, keduanya bertemu secara sembunyi-sembunyi, seperti biasanya, di hutan yang berada di luar kekuasaan kedua kerajaan.
“Lu Xun, aku kuatir dengan perang ini. Ayahku tak bisa diubah pendiriannya. Dia tidak akan mundur.”
“Begitupun dengan ayahku, Cai Wenji. Aku juga kuatir kalau justru mereka berdua akan sama-sama hancur. Apapun hasilnya, peperangan ini akan membuat kita tidak bisa bersatu.”
Sepasang kekasih itu pun merenungi masa depan mereka yang tak menentu.
“Cai Wenji, menikahlah denganku.” ujar Lu Xun tiba-tiba.
Wenji sekilas tersenyum, tapi kemudian wajahnya kembali murung.
“Ayahku, dan juga ayahmu, tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”
~
Keesokan harinya, perang pun tak terelakkan. Cao Cao berhadapan dengan Sun Jian di tengah-tengah dataran luas, beserta masing-masing ratusan ribu pasukan mereka. Di belakang kedua raja itu, masing-masing Cai Wenji dan Lu Xun, saling berpandangan dari kejauhan. Di seberang sana, Lu Xun berbicara dengan ayahnya, Sun Jian.
“Ayah, biarkan aku maju terlebih dulu. Aku ingin bertanding dengan putri Cao Cao itu.”
Sun Jian mengiyakan, dan Lu Xun pun maju mengendarai kudanya ke tengah-tengah arena pertempuran.
“Cai Wenji!” panggilnya dengan suara lantang. Tak berapa lama, Cai Wenji, yang juga seorang ksatria, maju menghampiri Lu Xun. Mereka berdua turun dari kuda masing-masing dan saling berpandangan.
“Wenji...” bisik Lu Xun, “menikahlah denganku.” mintanya sekali lagi.
“Lu Xun, sudah kubilang, ayahku tak akan setuju.”
“Tapi bagaimana denganmu? Itu yang ingin kuketahui.”
“Aku... sungguh ingin.”
“Kalau begitu, kita lari saja. Lari dari tempat ini, lari dari ayah kita, lari dari kerajaan ini, melupakan semua peperangan ini, dan memulai hidup baru, hanya kita berdua saja.”
Cai Wenji pun menitikkan air matanya.
“Bawa aku pergi.”
Dengan sigap, Lu Xun meraih Cai Wenji dan menaikkannya ke atas kuda miliknya, kemudian dia pun menyusul, duduk di belakangnya. Tanpa membuang waktu, Lu Xun pun memacu kudanya dengan kencang, meninggalkan arena peperangan, meninggalkan kedua ayah mereka yang masih berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
-BERSAMBUNG-
3 comments:
Next chapter!
*minjem suaranya Taylor Swift*
Lebih suka bagian ini ketimbang yg lanjutannya,
soalnya mengharukan :p
:)
Post a Comment