Di sebuah kaki bukit di tengah dataran yang gersang, kita berdua berdiri memandangi sekelompok manusia gua yang dengan liarnya menghabisi seekor babi rusa dengan perkakas batunya. Raut wajahmu menunjukkan rasa kecewa.
“Tidakkah kau bosan?” tanyamu.
“Apa maksudmu?”
“Lihatlah mereka. Kalau kita terus berada di tempat ini dan menunggu hingga mereka berkembang, akan memakan waktu yang lama sekali. Oh, aku merindukan masa-masa ketika kita bermain dengan hewan-hewan besar itu. Mereka lebih menarik ketimbang mahluk-mahluk bodoh ini. Sayang sekali serangan batu dari langit itu akhirnya tembus juga, dan mereka pun musnah.”
“Mungkin sebaiknya kita pergi dari tempat ini dan menemukan hal-hal baru.”
“Aku setuju. Tapi kita tidak boleh melakukannya bersama-sama.”
Aku memandangimu dengan wajah bertanya-tanya.
“Kita harus melakukannya sendiri-sendiri, karena kalau kita terus bersama, aku takut lambat laun kita akan menjadi bosan. Aku akan pergi ke arah sana, sementara kau pergi ke arah sebaliknya.”
“Lalu kapan kita akan bertemu lagi?”
“Ketika salah satu dari kita mengirimkan tanda, bahwa kita ingin bertemu. Tapi kita harus melakukannya bergantian, dan kaulah yang berhak untuk melakukan yang pertama.”
“Baiklah.”
~
Kami pun memulai petualangan kami masing-masing. Kuakui, hal ini terasa lebih menyenangkan dan menarik. Aku menemukan berbagai hewan dan pepohonan yang menarik di berbagai belahan planet ini. Begitu kami bertemu di bagian terdingin di planet ini, di tengah-tengah padang es yang luas, kami menceritakan pengalaman kami satu persatu, sambil bercengkrama dengan hewan-hewan hitam putih bersuara lucu. Kemudian setelahnya kami pun berpisah lagi.
Terkadang hanya sebentar, tapi kadang bisa memakan waktu bertahun-tahun bagiku untuk kemudian kembali merasakan rindu yang tak tertahankan padamu, belahan jiwaku. Aku selalu cemas ketika giliranmu tiba, kuatir kalau perasaan rindumu tak sebesar perasaan rinduku, yang itu berarti lebih lama lagi waktu yang mesti dilalui sebelum kita bertemu.
~
Jika aku lebih tertarik untuk mempelajari dan menemukan keindahan dan keunikan planet ini, kau lebih peduli dengan orang-orang yang menempatinya. Ketika kita bertemu di tengah peperangan besar itu, kau berkomentar dengan muram.
“Lihatlah orang-orang ini. Ribuan tahun berlalu, dan pengetahuan mereka sudah jauh bertambah, lalu kenapa mereka masih melakukan hal-hal bodoh dan tak berarti seperti ini? Apakah mungkin mereka juga bosan seperti halnya kita?”
Aku tak menjawabnya karena aku memang tak terlalu mengerti tentang spesies ini. Berapa banyak manusia saling menghunuskan pedang mereka dan tumbang, hanya untuk secuil wilayah yang bahkan bukan milik mereka.
Kekhawatiranmu pun semakin terbukti di pertemuan kita yang kesekian beratus tahun kemudian. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia tak hanya merusak sesamanya, mereka juga merusak lingkungan, alam tempat mahluk-mahluk yang lain juga tinggal.
Kami berada di sana ketika langit sangat ramai dipenuhi pesawat-pesawat yang terbang dan menembaki orang-orang di bawah. Kemudian dua benda besar yang mereka sebut bom atom pun jatuh, menghancurleburkan kedua kota di negara bernama Jepang ini.
“Kau lihat? Mereka sungguh menyebalkan.”
Kami waktu itu berdiri di tengah-tengah reruntuhan kota Nagasaki, menyaksikan kehancuran dimana-mana.
“Mungkin pada akhirnya nanti mereka akan bosan dengan peperangan ini.” jawabku, berusaha menenangkanmu. Kau hanya diam, mungkin setuju dengan pendapatku.
~
Ketika kami bertemu lagi puluhan tahun kemudian, situasi sudah berubah cukup drastis. Perang sudah hampir lenyap di planet ini, meskipun di beberapa tempat, hal itu masih terjadi. Kami berdiri di atas sebuah gedung pencakar langit, menyaksikan ramainya suasana kota dengan segala macam cahaya yang bergerak tanpa henti.
“Nah, lihatlah, keadaan sudah membaik kan?”
“Mungkin. Tapi lihatlah mereka sekarang. Mereka bahkan tidak bertegur sapa lagi seperti halnya pendahulu mereka biasa lakukan. Mereka sibuk dengan alat kecil yang mereka bawa kemana-mana.” keluhmu.
“Oh, benda itu. Kurasa itu dampak dari teknologi yang semakin maju di planet ini. Kemanusiaan mereka berkurang, dan lambat laun mesin menguasai mereka.”
Kau menoleh padaku dengan tatapan kagum.
“Rupanya kau pun sekarang berbicara sepertiku.”
Kami pun tertawa.
~
Kami bertemu lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya, karena kami tak akan berpisah lagi. Di sebuah kaki bukit yang tandus itu, sekali lagi kami berada di sana, memandangi langit yang gelap tak menentu. Suara guntur terdengar dimana-mana, dan dari kejauhan dapat kurasakan hampir seluruh permukaan planet ini bergemuruh kencang.
“Apakah menurutmu kita akan selamat?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Jika planet ini hancur, aku tidak yakin apakah kita akan melayang tak menentu di antariksa ini, atau ikut hancur bersamanya. Bagaimana menurutmu?”
“Kalau ini merupakan saat-saat terakhir kita, yang menurut perhitunganku hanya sekitar beberapa hari, kurasa lebih baik kita menghabiskannya dengan bersama-sama.”
Kami pun diam sejenak. Kemudian kau mengaku.
“Kau tahu, dalam setiap perjalananku, aku sengaja mengulur waktu untuk mengirimkan tanda supaya kita bertemu. Aku tak ingin kau tahu kalau aku sangat merindukanmu.”
Aku tersenyum. “Dasar bodoh. Sekarang kau tak ubahnya seperti manusia-manusia itu.”
Kami pun tertawa, sementara bumi meledakkan perutnya dan memuntahkannya sekuat tenaga.
-END-
“Tidakkah kau bosan?” tanyamu.
“Apa maksudmu?”
“Lihatlah mereka. Kalau kita terus berada di tempat ini dan menunggu hingga mereka berkembang, akan memakan waktu yang lama sekali. Oh, aku merindukan masa-masa ketika kita bermain dengan hewan-hewan besar itu. Mereka lebih menarik ketimbang mahluk-mahluk bodoh ini. Sayang sekali serangan batu dari langit itu akhirnya tembus juga, dan mereka pun musnah.”
“Mungkin sebaiknya kita pergi dari tempat ini dan menemukan hal-hal baru.”
“Aku setuju. Tapi kita tidak boleh melakukannya bersama-sama.”
Aku memandangimu dengan wajah bertanya-tanya.
“Kita harus melakukannya sendiri-sendiri, karena kalau kita terus bersama, aku takut lambat laun kita akan menjadi bosan. Aku akan pergi ke arah sana, sementara kau pergi ke arah sebaliknya.”
“Lalu kapan kita akan bertemu lagi?”
“Ketika salah satu dari kita mengirimkan tanda, bahwa kita ingin bertemu. Tapi kita harus melakukannya bergantian, dan kaulah yang berhak untuk melakukan yang pertama.”
“Baiklah.”
~
Kami pun memulai petualangan kami masing-masing. Kuakui, hal ini terasa lebih menyenangkan dan menarik. Aku menemukan berbagai hewan dan pepohonan yang menarik di berbagai belahan planet ini. Begitu kami bertemu di bagian terdingin di planet ini, di tengah-tengah padang es yang luas, kami menceritakan pengalaman kami satu persatu, sambil bercengkrama dengan hewan-hewan hitam putih bersuara lucu. Kemudian setelahnya kami pun berpisah lagi.
Terkadang hanya sebentar, tapi kadang bisa memakan waktu bertahun-tahun bagiku untuk kemudian kembali merasakan rindu yang tak tertahankan padamu, belahan jiwaku. Aku selalu cemas ketika giliranmu tiba, kuatir kalau perasaan rindumu tak sebesar perasaan rinduku, yang itu berarti lebih lama lagi waktu yang mesti dilalui sebelum kita bertemu.
~
Jika aku lebih tertarik untuk mempelajari dan menemukan keindahan dan keunikan planet ini, kau lebih peduli dengan orang-orang yang menempatinya. Ketika kita bertemu di tengah peperangan besar itu, kau berkomentar dengan muram.
“Lihatlah orang-orang ini. Ribuan tahun berlalu, dan pengetahuan mereka sudah jauh bertambah, lalu kenapa mereka masih melakukan hal-hal bodoh dan tak berarti seperti ini? Apakah mungkin mereka juga bosan seperti halnya kita?”
Aku tak menjawabnya karena aku memang tak terlalu mengerti tentang spesies ini. Berapa banyak manusia saling menghunuskan pedang mereka dan tumbang, hanya untuk secuil wilayah yang bahkan bukan milik mereka.
Kekhawatiranmu pun semakin terbukti di pertemuan kita yang kesekian beratus tahun kemudian. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia tak hanya merusak sesamanya, mereka juga merusak lingkungan, alam tempat mahluk-mahluk yang lain juga tinggal.
Kami berada di sana ketika langit sangat ramai dipenuhi pesawat-pesawat yang terbang dan menembaki orang-orang di bawah. Kemudian dua benda besar yang mereka sebut bom atom pun jatuh, menghancurleburkan kedua kota di negara bernama Jepang ini.
“Kau lihat? Mereka sungguh menyebalkan.”
Kami waktu itu berdiri di tengah-tengah reruntuhan kota Nagasaki, menyaksikan kehancuran dimana-mana.
“Mungkin pada akhirnya nanti mereka akan bosan dengan peperangan ini.” jawabku, berusaha menenangkanmu. Kau hanya diam, mungkin setuju dengan pendapatku.
~
Ketika kami bertemu lagi puluhan tahun kemudian, situasi sudah berubah cukup drastis. Perang sudah hampir lenyap di planet ini, meskipun di beberapa tempat, hal itu masih terjadi. Kami berdiri di atas sebuah gedung pencakar langit, menyaksikan ramainya suasana kota dengan segala macam cahaya yang bergerak tanpa henti.
“Nah, lihatlah, keadaan sudah membaik kan?”
“Mungkin. Tapi lihatlah mereka sekarang. Mereka bahkan tidak bertegur sapa lagi seperti halnya pendahulu mereka biasa lakukan. Mereka sibuk dengan alat kecil yang mereka bawa kemana-mana.” keluhmu.
“Oh, benda itu. Kurasa itu dampak dari teknologi yang semakin maju di planet ini. Kemanusiaan mereka berkurang, dan lambat laun mesin menguasai mereka.”
Kau menoleh padaku dengan tatapan kagum.
“Rupanya kau pun sekarang berbicara sepertiku.”
Kami pun tertawa.
~
Kami bertemu lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya, karena kami tak akan berpisah lagi. Di sebuah kaki bukit yang tandus itu, sekali lagi kami berada di sana, memandangi langit yang gelap tak menentu. Suara guntur terdengar dimana-mana, dan dari kejauhan dapat kurasakan hampir seluruh permukaan planet ini bergemuruh kencang.
“Apakah menurutmu kita akan selamat?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Jika planet ini hancur, aku tidak yakin apakah kita akan melayang tak menentu di antariksa ini, atau ikut hancur bersamanya. Bagaimana menurutmu?”
“Kalau ini merupakan saat-saat terakhir kita, yang menurut perhitunganku hanya sekitar beberapa hari, kurasa lebih baik kita menghabiskannya dengan bersama-sama.”
Kami pun diam sejenak. Kemudian kau mengaku.
“Kau tahu, dalam setiap perjalananku, aku sengaja mengulur waktu untuk mengirimkan tanda supaya kita bertemu. Aku tak ingin kau tahu kalau aku sangat merindukanmu.”
Aku tersenyum. “Dasar bodoh. Sekarang kau tak ubahnya seperti manusia-manusia itu.”
Kami pun tertawa, sementara bumi meledakkan perutnya dan memuntahkannya sekuat tenaga.
-END-
===============
author's note: mudah2an ada definisi FF yg batasannya di bawah 800 kata, soalnya tulisan ini agak panjang, sekitar 700 kata :D Aku ga mau ngapus2in karena udah puas ama hasilnya.
7 comments:
wuih tentang kiamat ya :O
terakhirnya emang pas kiamat gitu,
tapi ini ceritanya dari awal mula manusia gt, beuh :p
Bagus. Romantis. ^^
keren :)
kok bisa romantis ya, padahal pengennya dibilang keren :p
ga ada yg nanya gitu, mereka itu siapa? bukan orang lho.
Nah itu pertanyaanku, kukira bakal dikasih clue gitu di akhir. Mereka itu siapa? :O
penjelasan paling mendekati: strayed angels. tapi yg kerjaannya cuma mengamati aja.
ini kepikirannya dari bukunya Philip Pullman yg seri His Dark Materials :D
Post a Comment