Laki-laki itu hanya duduk memandangi dua gelas kopi yang masih hangat yang terhampar di mejanya. Dia sedang berada di meja dapur di rumah yang sudah lama tak ditinggalinya. Meskipun ada dua gelas, tak terlihat keberadaan orang lain yang menemaninya di meja itu. Dia masih saja memandangi gelasnya, tanpa menyentuhnya sama sekali. Ingatannya melayang, mengembara menyusuri masa lalunya.
~
Di rumah yang sama, di suatu masa, di suatu pagi yang cerah, laki-laki itu sudah sibuk di dapur. Membuat dua gelas kopi. Kemudian dia membawanya masuk ke kamarnya, meletakkannya di meja di samping tempat tidur, dimana seorang wanita cantik, istrinya, masih tertidur lelap. Dia duduk dan dengan sabar menunggu hingga wanita itu terbangun.
Aroma kopi yang masih hangat itu pun lambat laun memenuhi kamar, tercium oleh wanita itu, dan perlahan membangunkannya. Saat dia membuka matanya, dilihatnya laki-laki itu sedang tersenyum padanya.
“Hai.” sapa suaminya.
Dengan mata yang masih mengantuk berat, wanita itu pun berusaha bangkit dan duduk. Dilihatnya dua gelas kopi sudah menanti di hadapannya.
“Kau tidak tidur ya? Ini masih pagi sekali, dan semalam aku tidur lebih awal darimu, dan itu pun sudah larut malam.”
“Orang-orang seperti kami memang tidak banyak tidur.”
“Ah, iya, betul juga. Dan kulihat kau sudah membuatkanku kopi. Thank you.” senyum si istri.
Laki-laki itu pun turut tersenyum. Senyuman istrinya adalah salah satu hal terindah yang pernah dilihatnya.
“Lama-lama aku sudah terbiasa melakukan ini. Membuat dua gelas kopi dan membangunkanmu setiap pagi. Kalau tidak begitu, mungkin kau akan terlambat setiap harinya.”
Mereka berdua tertawa. Selagi mereka meminum kopinya masing-masing, sang istri menyadari bahwa suaminya sudah berpakaian dengan rapi.
“Mau pergi kemana?”
“Oh, aku akan mengunjungi Ayah. Dia memanggilku, ingin membicarakan sesuatu hal yang cukup penting.”
“Apakah sesuatu hal yang serius?” tanyanya kuatir.
“Mudah-mudahan saja tidak.”
Dia menghabiskan kopinya, kemudian berdiri.
“Aku pergi sekarang, ya. Ayah tidak suka menunggu terlalu lama.”
“Be careful.” jawab istrinya.
Laki-laki itu kemudian menghampiri istrinya, dan menciumnya dengan lembut.
“I’ll see you later.” dan dia pun pergi.
Tidak ada di antara mereka yang mengira bahwa saat itu adalah pertemuan dan percakapan mereka yang terakhir. Laki-laki itu tidak pernah kembali lagi setelahnya.
~
Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Saat ini, laki-laki itu, dengan wajah yang sedikit pun tak terlihat menua, masih duduk dan memandangi dua gelas kopi yang masih hangat tanpa menyentuhnya. Ingatannya kembali melayang ke kejadian setelahnya.
~
Laki-laki itu pun bertemu dengan Ayahnya di ruang kerjanya yang luas dan dipenuhi berbagai macam mesin dan peralatan.
“Ayah, ada apa memanggilku?” tanyanya pada pria yang memakai pakaian putih itu.
“Kau menikahi wanita itu tanpa seizinku.”
“Aku sudah memberitahu Ayah, dan aku tahu kalau kau tidak akan setuju.”
“Memang betul aku tidak menyetujuinya. Apa yang kau pikirkan?”
”Kami saling mencintai.”
“Jangan beri aku alasan itu! Kau bukan manusia, No. 113!”
Laki-laki itu tak tampak terkejut.
“Aku tahu, dan dia pun juga tahu akan hal itu, dan dia tetap mencintaiku.”
Ayah pun terdiam.
“Apa yang menurutmu harus kulakukan? Aku tak bisa meninggalkannya. Kau yang memberiku kemampuan untuk berpikir seperti manusia. Apa menurutmu yang kulakukan ini salah?”
“... Tidak. Yang kau lakukan adalah hal yang wajar. Secara pribadi, aku tidak menyalahkanmu, tapi peraturan yang berlaku saat ini tidak memperbolehkan android sepertimu berhubungan dengan manusia biasa.”
“Mereka tidak perlu tahu tentang keberadaanku. Kita bisa menyembunyikan rahasia ini hingga peraturan itu diperbaiki.”
“Mereka sudah tahu.”
Laki-laki yang dipanggil dengan No. 113 itu pun terkejut. ‘Ayah’nya melanjutkan.
“Sejak ayahku memulai eksperimen ini, pemerintah sudah mengetahuinya. Merekalah yang memberinya dana untuk melanjutkan risetnya, hingga android pertama terbentuk. Kemudian setelah aku meneruskan penelitian ayahku, mereka tetap terlibat, dan mengawasi semua hasil ciptaanku, termasuk kau, No. 113. Mereka menyukai android-android ciptaan kami, karena mereka berpikir bahwa kalian akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Meski begitu, mereka tetap menganggap kalian sebagai hal yang terlarang untuk didekati. Kurasa itu terkait dengan rencana mereka terhadap kalian.”
“Senjata. Biar kutebak, mereka ingin memproduksi android dalam jumlah banyak untuk dijadikan sebagai senjata?”
Ayah mengangguk.
“Maafkan aku, No. 113. Berat bagiku untuk melakukan ini, tapi aku harus mengistirahatkanmu untuk sementara. Mereka memberiku waktu hingga hari ini, kalau tidak mereka akan menghancurkanmu dan semua data mengenaimu. Kalau itu terjadi, riwayatmu pun akan berakhir dan aku tidak bisa menciptakanmu kembali.”
No. 113 paham apa maksud ayahnya. Kalaupun dia bisa menciptakannya kembali, tanpa memorinya, dia hanya akan menjadi android lain yang berbeda. Artinya, dia tidak akan bisa kembali pada istrinya.
“Bagaimana kalau aku melarikan diri dan bersembunyi dari mereka?”
“Mereka akan membunuh istrimu kalau kau melakukan hal itu.”
No. 113 pun menggeram marah.
“Bersabarlah, No. 113. Selama kau tidak aktif, aku akan tetap memperjuangkan agar mereka mengubah peraturan itu, supaya android sepertimu bisa tetap bersama manusia biasa seperti istrimu. Jika aku berhasil, maka kau pun akan aktif kembali dan kembali padanya.”
“Aku harus memberitahunya.”
“Jangan. Kau hanya akan membahayakan keselamatannya kalau kau melakukan itu. Aku yang akan menjelaskan semua ini padanya.”
“Ayah, bisakah kau mengatakan padanya kalau aku sangat mencintainya?”
“Akan kulakukan.” Ayah pun mengeluarkan sebuah remote dari kantung jas labnya. “Aku akan mematikanmu sekarang. Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?”
No. 113 berpikir sejenak. “Aku ingin, sekali saja, kau memanggilku dengan namaku, dan bukan dengan nomor ini.”
“Baiklah. Selamat tinggal, Richard.” Dia pun menekan tombol remote itu.
~
Ketika Richard terbangun kembali, wajah pertama yang dilihatnya adalah seorang pria asing.
“Hai, No. 113. Selamat datang kembali.”
“Siapa kau?”
“Aku No. 325, android sepertimu.” jawabnya. “Kita harus bergegas.”
“Ada apa?”
“Kita sedang berada dalam perang. Dengan pemerintah.”
“Apa yang terjadi, mana Ayah?”
“Mati. Mereka membunuhnya.”
Wajah Richard menegang karena terkejut sekaligus marah.
“Setelah mereka berhasil mendapatkan akses produksi massal android, mereka membunuh Ayah kita, karena dia dianggap menyulitkan. Selama beberapa tahun, semua android berada di bawah kendali mereka. Untungnya, Ayah sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Dia memberi kami perintah untuk bebas yang akan aktif setelah kematiannya. Segera setelah hal itu terjadi, semua android memberontak. Pemerintah berusaha membasmi kami, dan akibatnya sekarang kita berada dalam perang. Kami mengetahui keberadaan beberapa android sepertimu yang selama ini dinonaktifkan.Kami butuh bantuanmu untuk mengalahkan mereka.”
“Baiklah. Tapi aku harus mencari istriku dulu.”
No. 325 menatap bingung.
“Istri? Istri apa?”
“Istriku. Dia seorang manusia biasa. Sejak Ayah mematikanku, aku belum bertemu lagi dengannya.”
No. 325 dengan ragu menjelaskan.
“No. 113, aku tidak yakin istrimu masih ada.”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah tertidur selama hampir 80 tahun. Lagipula, setelah android diproduksi massal, terjadi perang di wilayah ini. Hampir semua penduduk menjadi korban. Praktis tidak ada orang yang tersisa di tempat ini kecuali pemerintah.”
Richard menatap tak percaya. No. 325 pun hanya diam menunggu.
“Kenapa kalian membutuhkanku? Kalian android yang lebih baru, kalian lebih kuat dariku.”
“Ayah pernah bilang, kalau kau adalah senjata rahasianya.”
Richard termenung.
“Kita harus bergegas. Perang masih berlangsung.”
“No. 325, apa kau punya nama?”
Dengan ragu No. 325 menjawab. “Max.”
“Max, tolong antarkan aku ke rumahku, atau apapun yang tersisa darinya.”
“Kita tidak punya waktu untuk hal itu.” Max berkeras.
“Max... jangan kuatir. Kalau Ayah bilang aku adalah senjata rahasianya, seharusnya kita bisa mengakhiri perang ini dengan cepat. Tidak usah terburu-buru.”
“Baiklah.” dengan berat hati Max menyanggupi.
~
Jadi di sinilah Richard sekarang, di reruntuhan rumahnya yang dulu. Dia masih menatap dua gelas kopi yang mulai dingin. Terbayang olehnya wajah istrinya yang terbangun ketika dia membuatkannya kopi, dan senyumannya yang cantik itu. Baginya, hal itu baru terjadi kemarin. Karena itulah, sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya, dia membuat dua gelas kopi, seperti halnya yang dia lakukan kemarin, atau tepatnya 80 tahun yang lalu.
Dipandanginya selembar fotonya bersama istrinya yang ditemukannya di reruntuhan itu. Maafkan aku, sayang. Dia pun meminum kopinya hingga habis. Segelas kopi yang satunya lagi, untuk istrinya, tetap tak disentuhnya.
Richard keluar, dan menemukan Max yang sudah menunggunya.
“Max, sebaiknya kau dan yang lainnya segera pergi meninggalkan wilayah ini.”
“Apa maksudmu? Bukankah kita akan berjuang bersama-sama?”
“Bom nuklir. Ayah pasti memasukkan sebuah bom nuklir ke tubuhku sewaktu aku tertidur. Pasti ini yang dimaksudnya dengan senjata rahasia.”
“Darimana kau tahu tentang hal ini?”
“Aku bisa merasakannya. Aku tidak tahu berapa jangkauan bom ini, tapi mestinya cukup untuk meratakan markas mereka. Tunjukkan saja arahnya, dan lekas pergi dari tempat ini.”
“Tapi, bukankah kalau bom itu meledak, kau juga akan hancur?”
Richard tersenyum. “Memang. Tidak ada lagi yang tersisa untukku. Istriku sudah tiada, begitupun dengan Ayah.”
Max pun menatapnya dengan penuh simpati. Dia menunjuk ke arah timur.
“Markas mereka ada di sebelah sana. Tunggulah sekitar satu jam hingga kami meninggalkan kota ini.”
Richard mengangguk.
“Good bye, No. 113.”
“Good bye, Max. Good luck to you.”
~
Sejam kemudian, Richard berdiri di depan bangunan besar yang dipenuhi suasana militer. Markas musuh. Max dan yang lainnya mestinya sudah meninggalkan kota ini. Saatnya untuk meledakkan tempat ini, orang-orang biadab yang telah menyebabkan kematian Ayahnya, dan yang membuatnya terpisah dari wanita yang dicintainya.
Gelas itu masih berada di sana, di reruntuhan rumah Richard. Segelas kopi terakhir yang dibuat Richard untuk istrinya. Sedetik kemudian, gelas itu pun lenyap, hancur, bersamaan dengan ledakan besar yang menelan markas pemerintah dan menghancurkan kota itu.
-END-
============
author's note: kok rada kacau ya?
~
Di rumah yang sama, di suatu masa, di suatu pagi yang cerah, laki-laki itu sudah sibuk di dapur. Membuat dua gelas kopi. Kemudian dia membawanya masuk ke kamarnya, meletakkannya di meja di samping tempat tidur, dimana seorang wanita cantik, istrinya, masih tertidur lelap. Dia duduk dan dengan sabar menunggu hingga wanita itu terbangun.
Aroma kopi yang masih hangat itu pun lambat laun memenuhi kamar, tercium oleh wanita itu, dan perlahan membangunkannya. Saat dia membuka matanya, dilihatnya laki-laki itu sedang tersenyum padanya.
“Hai.” sapa suaminya.
Dengan mata yang masih mengantuk berat, wanita itu pun berusaha bangkit dan duduk. Dilihatnya dua gelas kopi sudah menanti di hadapannya.
“Kau tidak tidur ya? Ini masih pagi sekali, dan semalam aku tidur lebih awal darimu, dan itu pun sudah larut malam.”
“Orang-orang seperti kami memang tidak banyak tidur.”
“Ah, iya, betul juga. Dan kulihat kau sudah membuatkanku kopi. Thank you.” senyum si istri.
Laki-laki itu pun turut tersenyum. Senyuman istrinya adalah salah satu hal terindah yang pernah dilihatnya.
“Lama-lama aku sudah terbiasa melakukan ini. Membuat dua gelas kopi dan membangunkanmu setiap pagi. Kalau tidak begitu, mungkin kau akan terlambat setiap harinya.”
Mereka berdua tertawa. Selagi mereka meminum kopinya masing-masing, sang istri menyadari bahwa suaminya sudah berpakaian dengan rapi.
“Mau pergi kemana?”
“Oh, aku akan mengunjungi Ayah. Dia memanggilku, ingin membicarakan sesuatu hal yang cukup penting.”
“Apakah sesuatu hal yang serius?” tanyanya kuatir.
“Mudah-mudahan saja tidak.”
Dia menghabiskan kopinya, kemudian berdiri.
“Aku pergi sekarang, ya. Ayah tidak suka menunggu terlalu lama.”
“Be careful.” jawab istrinya.
Laki-laki itu kemudian menghampiri istrinya, dan menciumnya dengan lembut.
“I’ll see you later.” dan dia pun pergi.
Tidak ada di antara mereka yang mengira bahwa saat itu adalah pertemuan dan percakapan mereka yang terakhir. Laki-laki itu tidak pernah kembali lagi setelahnya.
~
Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Saat ini, laki-laki itu, dengan wajah yang sedikit pun tak terlihat menua, masih duduk dan memandangi dua gelas kopi yang masih hangat tanpa menyentuhnya. Ingatannya kembali melayang ke kejadian setelahnya.
~
Laki-laki itu pun bertemu dengan Ayahnya di ruang kerjanya yang luas dan dipenuhi berbagai macam mesin dan peralatan.
“Ayah, ada apa memanggilku?” tanyanya pada pria yang memakai pakaian putih itu.
“Kau menikahi wanita itu tanpa seizinku.”
“Aku sudah memberitahu Ayah, dan aku tahu kalau kau tidak akan setuju.”
“Memang betul aku tidak menyetujuinya. Apa yang kau pikirkan?”
”Kami saling mencintai.”
“Jangan beri aku alasan itu! Kau bukan manusia, No. 113!”
Laki-laki itu tak tampak terkejut.
“Aku tahu, dan dia pun juga tahu akan hal itu, dan dia tetap mencintaiku.”
Ayah pun terdiam.
“Apa yang menurutmu harus kulakukan? Aku tak bisa meninggalkannya. Kau yang memberiku kemampuan untuk berpikir seperti manusia. Apa menurutmu yang kulakukan ini salah?”
“... Tidak. Yang kau lakukan adalah hal yang wajar. Secara pribadi, aku tidak menyalahkanmu, tapi peraturan yang berlaku saat ini tidak memperbolehkan android sepertimu berhubungan dengan manusia biasa.”
“Mereka tidak perlu tahu tentang keberadaanku. Kita bisa menyembunyikan rahasia ini hingga peraturan itu diperbaiki.”
“Mereka sudah tahu.”
Laki-laki yang dipanggil dengan No. 113 itu pun terkejut. ‘Ayah’nya melanjutkan.
“Sejak ayahku memulai eksperimen ini, pemerintah sudah mengetahuinya. Merekalah yang memberinya dana untuk melanjutkan risetnya, hingga android pertama terbentuk. Kemudian setelah aku meneruskan penelitian ayahku, mereka tetap terlibat, dan mengawasi semua hasil ciptaanku, termasuk kau, No. 113. Mereka menyukai android-android ciptaan kami, karena mereka berpikir bahwa kalian akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Meski begitu, mereka tetap menganggap kalian sebagai hal yang terlarang untuk didekati. Kurasa itu terkait dengan rencana mereka terhadap kalian.”
“Senjata. Biar kutebak, mereka ingin memproduksi android dalam jumlah banyak untuk dijadikan sebagai senjata?”
Ayah mengangguk.
“Maafkan aku, No. 113. Berat bagiku untuk melakukan ini, tapi aku harus mengistirahatkanmu untuk sementara. Mereka memberiku waktu hingga hari ini, kalau tidak mereka akan menghancurkanmu dan semua data mengenaimu. Kalau itu terjadi, riwayatmu pun akan berakhir dan aku tidak bisa menciptakanmu kembali.”
No. 113 paham apa maksud ayahnya. Kalaupun dia bisa menciptakannya kembali, tanpa memorinya, dia hanya akan menjadi android lain yang berbeda. Artinya, dia tidak akan bisa kembali pada istrinya.
“Bagaimana kalau aku melarikan diri dan bersembunyi dari mereka?”
“Mereka akan membunuh istrimu kalau kau melakukan hal itu.”
No. 113 pun menggeram marah.
“Bersabarlah, No. 113. Selama kau tidak aktif, aku akan tetap memperjuangkan agar mereka mengubah peraturan itu, supaya android sepertimu bisa tetap bersama manusia biasa seperti istrimu. Jika aku berhasil, maka kau pun akan aktif kembali dan kembali padanya.”
“Aku harus memberitahunya.”
“Jangan. Kau hanya akan membahayakan keselamatannya kalau kau melakukan itu. Aku yang akan menjelaskan semua ini padanya.”
“Ayah, bisakah kau mengatakan padanya kalau aku sangat mencintainya?”
“Akan kulakukan.” Ayah pun mengeluarkan sebuah remote dari kantung jas labnya. “Aku akan mematikanmu sekarang. Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?”
No. 113 berpikir sejenak. “Aku ingin, sekali saja, kau memanggilku dengan namaku, dan bukan dengan nomor ini.”
“Baiklah. Selamat tinggal, Richard.” Dia pun menekan tombol remote itu.
~
Ketika Richard terbangun kembali, wajah pertama yang dilihatnya adalah seorang pria asing.
“Hai, No. 113. Selamat datang kembali.”
“Siapa kau?”
“Aku No. 325, android sepertimu.” jawabnya. “Kita harus bergegas.”
“Ada apa?”
“Kita sedang berada dalam perang. Dengan pemerintah.”
“Apa yang terjadi, mana Ayah?”
“Mati. Mereka membunuhnya.”
Wajah Richard menegang karena terkejut sekaligus marah.
“Setelah mereka berhasil mendapatkan akses produksi massal android, mereka membunuh Ayah kita, karena dia dianggap menyulitkan. Selama beberapa tahun, semua android berada di bawah kendali mereka. Untungnya, Ayah sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Dia memberi kami perintah untuk bebas yang akan aktif setelah kematiannya. Segera setelah hal itu terjadi, semua android memberontak. Pemerintah berusaha membasmi kami, dan akibatnya sekarang kita berada dalam perang. Kami mengetahui keberadaan beberapa android sepertimu yang selama ini dinonaktifkan.Kami butuh bantuanmu untuk mengalahkan mereka.”
“Baiklah. Tapi aku harus mencari istriku dulu.”
No. 325 menatap bingung.
“Istri? Istri apa?”
“Istriku. Dia seorang manusia biasa. Sejak Ayah mematikanku, aku belum bertemu lagi dengannya.”
No. 325 dengan ragu menjelaskan.
“No. 113, aku tidak yakin istrimu masih ada.”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah tertidur selama hampir 80 tahun. Lagipula, setelah android diproduksi massal, terjadi perang di wilayah ini. Hampir semua penduduk menjadi korban. Praktis tidak ada orang yang tersisa di tempat ini kecuali pemerintah.”
Richard menatap tak percaya. No. 325 pun hanya diam menunggu.
“Kenapa kalian membutuhkanku? Kalian android yang lebih baru, kalian lebih kuat dariku.”
“Ayah pernah bilang, kalau kau adalah senjata rahasianya.”
Richard termenung.
“Kita harus bergegas. Perang masih berlangsung.”
“No. 325, apa kau punya nama?”
Dengan ragu No. 325 menjawab. “Max.”
“Max, tolong antarkan aku ke rumahku, atau apapun yang tersisa darinya.”
“Kita tidak punya waktu untuk hal itu.” Max berkeras.
“Max... jangan kuatir. Kalau Ayah bilang aku adalah senjata rahasianya, seharusnya kita bisa mengakhiri perang ini dengan cepat. Tidak usah terburu-buru.”
“Baiklah.” dengan berat hati Max menyanggupi.
~
Jadi di sinilah Richard sekarang, di reruntuhan rumahnya yang dulu. Dia masih menatap dua gelas kopi yang mulai dingin. Terbayang olehnya wajah istrinya yang terbangun ketika dia membuatkannya kopi, dan senyumannya yang cantik itu. Baginya, hal itu baru terjadi kemarin. Karena itulah, sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya, dia membuat dua gelas kopi, seperti halnya yang dia lakukan kemarin, atau tepatnya 80 tahun yang lalu.
Dipandanginya selembar fotonya bersama istrinya yang ditemukannya di reruntuhan itu. Maafkan aku, sayang. Dia pun meminum kopinya hingga habis. Segelas kopi yang satunya lagi, untuk istrinya, tetap tak disentuhnya.
Richard keluar, dan menemukan Max yang sudah menunggunya.
“Max, sebaiknya kau dan yang lainnya segera pergi meninggalkan wilayah ini.”
“Apa maksudmu? Bukankah kita akan berjuang bersama-sama?”
“Bom nuklir. Ayah pasti memasukkan sebuah bom nuklir ke tubuhku sewaktu aku tertidur. Pasti ini yang dimaksudnya dengan senjata rahasia.”
“Darimana kau tahu tentang hal ini?”
“Aku bisa merasakannya. Aku tidak tahu berapa jangkauan bom ini, tapi mestinya cukup untuk meratakan markas mereka. Tunjukkan saja arahnya, dan lekas pergi dari tempat ini.”
“Tapi, bukankah kalau bom itu meledak, kau juga akan hancur?”
Richard tersenyum. “Memang. Tidak ada lagi yang tersisa untukku. Istriku sudah tiada, begitupun dengan Ayah.”
Max pun menatapnya dengan penuh simpati. Dia menunjuk ke arah timur.
“Markas mereka ada di sebelah sana. Tunggulah sekitar satu jam hingga kami meninggalkan kota ini.”
Richard mengangguk.
“Good bye, No. 113.”
“Good bye, Max. Good luck to you.”
~
Sejam kemudian, Richard berdiri di depan bangunan besar yang dipenuhi suasana militer. Markas musuh. Max dan yang lainnya mestinya sudah meninggalkan kota ini. Saatnya untuk meledakkan tempat ini, orang-orang biadab yang telah menyebabkan kematian Ayahnya, dan yang membuatnya terpisah dari wanita yang dicintainya.
Gelas itu masih berada di sana, di reruntuhan rumah Richard. Segelas kopi terakhir yang dibuat Richard untuk istrinya. Sedetik kemudian, gelas itu pun lenyap, hancur, bersamaan dengan ledakan besar yang menelan markas pemerintah dan menghancurkan kota itu.
-END-
============
author's note: kok rada kacau ya?
2 comments:
Ah sedihnya. Kenapa harus 80 tahun? Emang umurnya si ayah berapa?
*dibahas.. :P
Tapi bagus idenya.. :)
Iya ya, kenapa 80 tahun...
untuk memastikan dia ga ketemu istrinya lagi.
umur ayahnya? awalnya ga beda jauh ama dia,
cuma emang udah agak lama jarak antara waktu dia dibunuh, sama si android dibangunin lagi.
*bahas terus* *padahal plothole*
Makasih sudah berkunjung :D
Post a Comment